FENOMENA SEKTOR INFORMAL DI PERKOTAAN(JAKARTA DAN SURABAYA)Sektor informal, khususnya di negara dunia ketiga seperti Indonesia, bagaimanapun juga tidak bisa diremehkan keberadaannya. Dengan kejelian dan kreativitas yang muncul dari para pelakunya, sektor informal memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap krisis. Dengan perputaran modal yang –jika diakumulasikan—sangat besar, hasil (keuntungan) yang didapatkannya relatif bisa terdistribusikan secara luas, serta dengan daya serap tenaga kerja yang tinggi, sektor informal sesungguhnya telah berperan sebagai penggerak utama roda perekonomian IndonesiaAda beberapa karakteristik yang dapat dikategorikan sebagai usaha sektor informal, di antaranya adalah sebagai berikut ini :a. Mudah untuk dimasuki;b. Bersandar pada sumber daya lokal;c. Usaha milik sendiri;d. Operasinya dalam skala kecil;e. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif;f. Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal;g. Tidak terkena secara langsung oleh Regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.Fenomena sektor informal di Indonesia, memang bukan hal baru. Namun, hal penting yang patut dicermati adalah geliat mereka yang tak pernah padam. Selama ini, sektor informal bahkan dianggap sebagai katup pengaman yang efektif bagi perekonomian masyarakat bawah untuk tetap survive menghadapi kesulitan hidup yang terus membelit mereka. Dengan kejelian dan daya kreatifnya, mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan--setidaknya bagi diri mereka sendiri-- yang tidak terduga. Siapa yang mengira, jasa ojek payung, semir sepatu, tukang patri, tukang angkut kayu, dan lain sebagainya dapat tetap bertahan di situasi dan kondisi dewasa ini.
Seringkali
kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan pedagang kakilima (PKL) di
perkotaan Indonesia. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di
jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali
menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas
ataupun merusak keindahan kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui
bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat
lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pemerintah pun
dihujatnya dan masalah PKL ini disebutkan sebagai bentuk kegagalan pemerintah
dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin.
Jumlah PKl di
Surabaya secara umum mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya.
Dalam tiga tahun terakhir jumlah PKL yang terdata meningkat rata-rata 11,42%
per tahun (Biro perekonomian,2004). Angka tersebut diduga lebih rendah dari
kondisi yang sebenarnya mengingat banyaknya jumlah PKL “liar” yang sulit untuk
didata.
Peningkatan
jumlah PKL di Surabaya tersebut (dan di kota-kota besar pada umumnya)tidak
lepas dari dua faktort utama yang secara umum saling terkait : faktor ekonomi,
dan faktor demografi dan ketenagakerjaan. Pada periode pasca krisis ekonomi,
pertumbuhan ekonomi Surabaya yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), menunjukkan angka positif setiap tahunnya. Pada tahun 2001 tingkat
pertumbuhan ekonomi Surabaya sebesar 4,3% dan diperkiran akan meningkat pada
tahun-tahun berikutnya sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian nasional.
Meningkatnya aktivitas ekonomi kota tersebut telah memicu munculnya proses
urbanisasi. Pertambahan penduduk Surabaya akibat urbanisasi sebanyak 11.228
orang per tahun (Surabaya Dalam Angka,2002)
Diakui atau tidak, perekonomian Indonesia telah
terselamatkan oleh mereka yang terlibat di usaha sektor informal tersebut.
Mereka lah yang sesungguhnya harus disebut sebagai pahlawan ekonomi Indonesia.
Mereka adalah pahlawan yang mungkin tidak pernah tercatat oleh sejarah;
pahlawan tanpa nama, jika kita tidak segera menyadarinya.
Benarkah
fenomena PKL ini sebagai wujud kurangnya lapangan kerja bagi penduduk miskin?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan kemukakan konsep informalitas
perkotaan (urban informality) sebagai kerangka pikir untuk memahami fenomena
PKL yang terjadi di kawasan perkotaan.
Informalitas Perkotaan
Konsep informalitas perkotaan
ini tidak terlepas dari dikotomi sektor formal dan sektor informal yang mulai
dibicarakan pada awal tahun 1970-an. Fenomena sektor informal merupakan
fenomena yang sangat umum terjadi di negara-negara berkembang. Persentase
sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin,
Sub-sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar
antara 30-70 persen dari total tenaga kerja. Di Indonesia, menurut data
Indikator Ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (BPS), November 2003, 64,4
persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan, sektor informal
didominasi oleh sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaan
didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen).
Meskipun pembahasannya telah
dilakukan lebih dari tiga puluh tahun, tidak ada konsensus mengenai definisi
pasti dari sektor informal (Maloney, 2004). Pengertian sektor informal ini
lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. Dikotomi kedua
sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh ILO
(1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter
yang membedakan kedua sektor tersebut:
(1) kemudahan untuk masuk (ease
of entry)
(2) kemudahan untuk mendapatkan
bahan baku
(3) sifat kepemilikan
(4) skala kegiatan
(5) penggunaan tenaga kerja dan
teknologi
(6) tuntutan keahlian
(7) deregulasi dan kompetisi
pasar.
Pembahasan
dikotomi tersebut acap kali mengabaikan keterkaitan sektor informal dengan
aspek ruang dalam proses urbanisasi. Padahal seperti dapat kita amati di
Indonesia ataupun di negara-negara berkembang lainnya, perkembangan sektor
informal seiring dengan urbanisasi dan perubahan ruang perkotaan.
Ananya Roy
dan Nezar Alsayyad (2004), melalui bukunya Urban Informality: Transnational
Perspectives from the Middle East, Latin America and South Asia, mengenalkan
konsep informalitas perkotaan sebagai logika yang menjelaskan proses
transformasi perkotaan. Mereka tidak menekankan dikotomi sektor formal dan
informal tetapi pada pengertian bahwa informalitas sebagai sektor yang tidak
terpisah dalam struktur ekonomi masyarakat. Menurut mereka, informalitas ini
adalah suatu moda urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan ekonomi dan
ruang di kawasan perkotaan.
Menurut
pengamatan mereka pada kota-kota di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia,
perumahan dan pasar lahan informal tidak hanya merupakan domain bagi penduduk
miskin tetapi penting pula untuk penduduk kelas menengah. Demikian pula dengan
sektor-sektor informal yang baru banyak berlokasi di pinggiran kota. Dapat
dikatakan bahwa perkembangan kawasan perkotaan disebabkan oleh urbanisasi
informal.
Pedagang Kakilima di Perkotaan
Memakai
konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan
mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah
kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah
komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL
adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari
sistem ekonomi perkotaan.
Menjawab
pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan ini, PKL bukanlah wujud dari
kurangnya lapangan pekerjaan di perkotaan. Lapangan pekerjaan yang mereka
lakukan adalah salah satu moda transformasi dari masyarakat berbasis pertanian
ke industri dan jasa. Mengingat kemudahan untuk memasuki kegiatan ini berikut
dengan minimnya tuntutan keahlian dan modal usaha, penduduk yang bermigrasi ke
kota cenderung memilih kegiatan PKL.
Ketersediaan
lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan
lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya
lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia Ketiga yang
menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor
formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik
ketimbang menjadi pekerja di sektor formal.
Masalah yang
muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang
untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan
yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang
menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk
sektor informal termasuk PKL.
Dominasi
Sekolah Chicago dalam praktek perencanaan kota di negara-negara Dunia Ketiga
termasuk di Indonesia menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang
tidak mewadahi sektor informal. Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi oleh
sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Alokasi ruang
untuk sektor-sektor informal termasuk PKL adalah ruang marjinal. Sektor
informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari
pemahaman informalitas perkotaan.
Kesimpulannya,
Fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam
konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis
pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan
intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan dalam mencermati
masalah sektor informal termasuk PKL akan menempatkan sektor informal sebagai
bagian terintegral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman
ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL.
KEBIJAKAN UNTUK MEMBERIKAN
FASILITAS ATAU PEMBERDAYAAN SEKTOR INFORMAL DI INDONESIA
Penciptaan
lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan diperkotaan merupakan dua dari
berbagai masalah besar yang harus dicari pemecahannya dalam pembangunan
nasional. Beberapa ahli mengatakan dan pengamat ekonomi menganjurkan perlunya
perhatian pada pengembangan kegiatan ekonomi sektor informal diperkotaan.
Namun, ada juga yag cenderung lebih menekankan kepada kegiatan ekonomi sektor
modern. Misalnya, melalui perluasan investasi dan industrialisasi di perkotaan.
Pendapat
ini juga beranggapan bahwa pengembangan sektor informal diperkotaan hanya akan
menimbulkan persoalan baru baik sosial maupun lingkunagn perkotaan. Namun di
lain pihak, informalisasi perkotaan dapat menciptakan lapangan kerja dan
mengentaskan kemiskinan diperkotaan indonesia. Oleh karena itulah butuh
perhatian yang lebih besar terhadap sektor informal ini. Hal ini karena sektor
informal mampu menjadi sumber pertumbuhan baru serta tumpuan utama dalam
pembangunan nasional di masa mendatang.
Sektor
informal selain penuh dengan kontroversi juga memiliki manfaat yang notabene
membantu khususnya dalam perekonomian. Kadir dan Bintoro (2000) mengatakan
sektor informal memiliki dua manfaat, yakni :
a) Dalam
berbagai keterbatasannya serta dalam situasi persaingan ekonomi kapitalis yang
ketat, sektor informal telah menunjukkan kemampuannya untuk bertahan, meskipun
dalam kekurangan dan ketidaklayakannya.
b) Sektor
informal telah menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang tidak memiliki
kesempatan bekerja dalam sektor formal.
Adapun
beberapa masalah yang dihadapi oleh sektor informal diantaranya adalah :
a) Terhambatnya
proses pemberdayaan sektor informal bukan saja diakibatkan oleh terbatasnya
anggaran tetapi juga adanya kebijakan pemerintah (pusat/daerah) yang memang
cenderung kurang menghendaki terjadinya transformasi informal menuju formal
yang maju dan modern.
b) Pelaku
sektor informal juga belum memiliki manajemen usaha yang bisa membuat mereka
bekerja efisien dan memiliki daya tawar yang kuat.
c) Faktor
keterbatasan modal dan akses terhadap pasar merupakan kendala utama yang
bersifat akut dan belum bisa tertanggulangi secara sempurna.
d) Sektor
informal belum bisa mengorganisasikan diri dengan dunia luar (bahkan diantara
mereka sendiri) akibat adanya hambatan dari pemerintah yang tidak bisa
memperbolehkan mereka untuk berkelompok secara kuat dan intensif.
e) Belum
adanya upaya advokasi yang tumbuh dari dalam sektor informal. Mereka sangat
disibukkan oleh usaha yang mereka geluti. Seperti, 24 jam memikirkan bagaimana
mengembangkan usahanya, menyelamatkan usahanya dari ancaman dari pemerintah
yang ingin menggusurnya, dll.
Sektor
informal dipandang sebagai perusak kota, walaupun sebenarnya ada pula sisi
positif dari tumbuhnya sektor informal ini. Hambatan dalam keberlangsungan
sektor informal :
a) Belum
diakuinya sektor tersebut sebagai sektor yang berpotensi besar dalam
pembangunan ekonomi Indonesia. Umumnya master plan kota justru mempunyai
rencana penggusuran dan pengkonsentrasian unit usaha sektor informal disalah
satu tempat dengan dalih demi keindahan, kebersihan, ketertiban kota.
b) Para
pejabat dan kaum elite lokal biasanya memandang sektor informal terutama PKL
sebagai gangguan yang membuat kota menjadi kotor dan tidak rapi, menyebabkan
kemacetan lalu lintas, dll.
Pengembangan
sektor informal.
Dalam
beberapa kebijakan, pemerintah dinilai kurang memihak sektor informal khususnya
PKL. Oleh karena itu dikembangkan model bagi pengembangan sektor informal yang
bernuansa tata kota. Model ini dibagi dalam beberapa tahap :
Tahap
perencanaan
Yang
harus dilakukan oleh pemerintah :
- Mendata jumlah sektor informal dan
target sektor informal yang akan ditangani
- Menginformasikan tentang program
pembinaan
- Pemerintah sudah memiliki alternatif
lokasi/tempat yang akan digunakan untuk sektor informal (tempat strategis dan
biayanya murah)
- Pemerintah boleh menyediakan modal senri
untuk sektor informal atau bekerja sama dengan pihak swasta
- Pemerintah harus menyediakan aparat yang
mempunyai loyalitas tinggi terhadap tugas
Tahap
pelaksanaan
a) Dialog
dan musyawarah
- Mampu memberikan arahan dan pembinaan
dengan tujuan membantu sektor informal dalam memperoleh lokasi yang lebih baik,
membantu permodalan dan bernuansa tata kota
- Pemerintah mensosialisasikan kebijakan
tentang tata kota
b) Musyawarah
dan dialog
- Diharapkan pemerintah bisa memancing
aspirasi dari sektor informal
- Mencari jalan keluar yang menguntungkan
dua belah pihak
- Diharapkan pelaku sektor informal dapat
menerima dengan kesadaran tentang kebijakan pemerintah
c) Pemberian
pembinaan
- Pembinaan keterampilan membuat produk
- Pembinaan kelembagaan, agar sektor
informal mempunyai wadah untuk menampung segala kegiatannya sehingga
kegiatannya menjadi lebih ringan dan lancar
- Pembinaan permodalan, untuk membantu
mengembangkan usahanya dengan pemberian kredit
- Pembinaan pasar, pengelolaan lokasi
sektor informal di pasar sebagai lokasi terbarunya
- Pembinaan manajemen usaha, agar dapat
mengembangkan usahanya dan pemerintah bisa menerapkan pajak progresif.
Pembinaan manajemen usaha dapat dibagi dalam 2 bagian :
1) Pembinaan
manajemen dalam hal mengelola keuangan
2) Pembinaan
manajemen dalam hal pemasaran dan pelayanan konsumen
LANGKAH
PEMBERDAYAAN SEKTOR INFORMAL
Apabila
sektor informal dikelola dengan baik, maka sektor informal akan menjadi sebuah
survival strategy. Hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari campur tangan
pemerintah dan semua pihak dalam mewujudkan potensi yang ada dalam sektor
ekonomi informal melalui langkah-langkah kebijakan sebagai berikut :
1) Pemerintah
daerah dapat memahami modernisasi di perkotaan bukan hanya pembangunan plaza
dan mal-mal saja. Tetapi, modernisasi perkotaan perlu diartikan sebagai
pemberian tempat yang lebih layak bagi ekonomi informal pada struktur ekonomi
perkotaan yang merupakan sumber kehidupan sebagian besar rakyat miskin.
2) Retribusi
atau pajak yang dibebankan kepada sektor ekonomi informal oleh pemerintah
daerah seharusnya memperhitungkan tarif retribusi tersebut berdasarkan
pendapatan real yang juga adanya timbal balik berupa pelayanan kebersiha dan
keamanan sektor ekonomi informal. Pemerintah juga harus membantu dalam hal
permodalan berbubga rendah untuk mendapatkan lokasi usaha, baik itu kerja sama
dengan swasta atau dari APBD.
3) Hendaknya
pemerintah daerah bekerja sama dengan LSM menciptakan pusat pelayanan bagi
sektor-sektor ekonomi informal demi pemberdayaan dan peningkatan SDM. Selain
itu juga harus dilaksanakan pelatihan bagi sektor informal. Pelatihan ditujukan
untuk menyebarkan informasi seputar kegiatan usaha, pengembangan wawasan, dasar
pengelolaan usaha, dan pemanfaatan peluang usaha.
Daftar
pustaka
Faulizar,Yuzarian.2010.Pengembangan
dan Pemberdayaan Sektor Informal.From
Rukmana,Deden.2008.Pedagang
Kakilima Dan Informalitas Perkotaan.From
Zakik.2006.Analisa
Strategi Dan Kebijakan Penanganan Pedagang Kakilima di Kota Surabaya.Vol 1 No.2
2006,92-119.
http://ijaltruelife.blogspot.com/2011/05/sektor-informal-eagle-awards-2011.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar