iklan

Minggu, 01 Februari 2015

FENOMENA SEKTOR INFORMAL DI PERKOTAAN (JAKARTA DAN SURABAYA)

FENOMENA SEKTOR INFORMAL DI PERKOTAAN 
(JAKARTA DAN SURABAYA)


Sektor informal, khususnya di negara dunia ketiga seperti Indonesia, bagaimanapun juga tidak bisa diremehkan keberadaannya. Dengan kejelian dan kreativitas yang muncul dari para pelakunya, sektor informal memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap krisis. Dengan perputaran modal yang –jika diakumulasikan—sangat besar, hasil (keuntungan) yang didapatkannya relatif bisa terdistribusikan secara luas, serta dengan daya serap tenaga kerja yang tinggi, sektor informal sesungguhnya telah berperan sebagai penggerak utama roda perekonomian Indonesia

Ada beberapa karakteristik yang dapat dikategorikan sebagai usaha sektor informal, di antaranya adalah sebagai berikut ini :
a. Mudah untuk dimasuki;
b. Bersandar pada sumber daya lokal;
c. Usaha milik sendiri;
d. Operasinya dalam skala kecil;
e. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif;
f. Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal;
g. Tidak terkena secara langsung oleh Regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.

Fenomena sektor informal di Indonesia, memang bukan hal baru. Namun, hal penting yang patut dicermati adalah geliat mereka yang tak pernah padam. Selama ini, sektor informal bahkan dianggap sebagai katup pengaman yang efektif bagi perekonomian masyarakat bawah untuk tetap survive menghadapi kesulitan hidup yang terus membelit mereka. Dengan kejelian dan daya kreatifnya, mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan--setidaknya bagi diri mereka sendiri-- yang tidak terduga. Siapa yang mengira, jasa ojek payung, semir sepatu, tukang patri, tukang angkut kayu, dan lain sebagainya dapat tetap bertahan di situasi dan kondisi dewasa ini.


Seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan pedagang kakilima (PKL) di perkotaan Indonesia. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pemerintah pun dihujatnya dan masalah PKL ini disebutkan sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin.

Jumlah PKl di Surabaya secara umum mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Dalam tiga tahun terakhir jumlah PKL yang terdata meningkat rata-rata 11,42% per tahun (Biro perekonomian,2004). Angka tersebut diduga lebih rendah dari kondisi yang sebenarnya mengingat banyaknya jumlah PKL “liar” yang sulit untuk didata.

Peningkatan jumlah PKL di Surabaya tersebut (dan di kota-kota besar pada umumnya)tidak lepas dari dua faktort utama yang secara umum saling terkait : faktor ekonomi, dan faktor demografi dan ketenagakerjaan. Pada periode pasca krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Surabaya yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), menunjukkan angka positif setiap tahunnya. Pada tahun 2001 tingkat pertumbuhan ekonomi Surabaya sebesar 4,3% dan diperkiran akan meningkat pada tahun-tahun berikutnya sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian nasional. Meningkatnya aktivitas ekonomi kota tersebut telah memicu munculnya proses urbanisasi. Pertambahan penduduk Surabaya akibat urbanisasi sebanyak 11.228 orang per tahun (Surabaya Dalam Angka,2002)

Diakui atau tidak, perekonomian Indonesia telah terselamatkan oleh mereka yang terlibat di usaha sektor informal tersebut. Mereka lah yang sesungguhnya harus disebut sebagai pahlawan ekonomi Indonesia. Mereka adalah pahlawan yang mungkin tidak pernah tercatat oleh sejarah; pahlawan tanpa nama, jika kita tidak segera menyadarinya.

Benarkah fenomena PKL ini sebagai wujud kurangnya lapangan kerja bagi penduduk miskin? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan kemukakan konsep informalitas perkotaan (urban informality) sebagai kerangka pikir untuk memahami fenomena PKL yang terjadi di kawasan perkotaan.

Informalitas Perkotaan

       Konsep informalitas perkotaan ini tidak terlepas dari dikotomi sektor formal dan sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970-an. Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di negara-negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin, Sub-sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja. Di Indonesia, menurut data Indikator Ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (BPS), November 2003, 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan, sektor informal didominasi oleh sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaan didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen).

     Meskipun pembahasannya telah dilakukan lebih dari tiga puluh tahun, tidak ada konsensus mengenai definisi pasti dari sektor informal (Maloney, 2004). Pengertian sektor informal ini lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. Dikotomi kedua sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh ILO (1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut:
(1) kemudahan untuk masuk (ease of entry)
(2) kemudahan untuk mendapatkan bahan baku
(3) sifat kepemilikan
(4) skala kegiatan
(5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi
(6) tuntutan keahlian
(7) deregulasi dan kompetisi pasar.

Pembahasan dikotomi tersebut acap kali mengabaikan keterkaitan sektor informal dengan aspek ruang dalam proses urbanisasi. Padahal seperti dapat kita amati di Indonesia ataupun di negara-negara berkembang lainnya, perkembangan sektor informal seiring dengan urbanisasi dan perubahan ruang perkotaan.

Ananya Roy dan Nezar Alsayyad (2004), melalui bukunya Urban Informality: Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America and South Asia, mengenalkan konsep informalitas perkotaan sebagai logika yang menjelaskan proses transformasi perkotaan. Mereka tidak menekankan dikotomi sektor formal dan informal tetapi pada pengertian bahwa informalitas sebagai sektor yang tidak terpisah dalam struktur ekonomi masyarakat. Menurut mereka, informalitas ini adalah suatu moda urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan ekonomi dan ruang di kawasan perkotaan.

Menurut pengamatan mereka pada kota-kota di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia, perumahan dan pasar lahan informal tidak hanya merupakan domain bagi penduduk miskin tetapi penting pula untuk penduduk kelas menengah. Demikian pula dengan sektor-sektor informal yang baru banyak berlokasi di pinggiran kota. Dapat dikatakan bahwa perkembangan kawasan perkotaan disebabkan oleh urbanisasi informal.

Pedagang Kakilima di Perkotaan

Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan.

Menjawab pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan ini, PKL bukanlah wujud dari kurangnya lapangan pekerjaan di perkotaan. Lapangan pekerjaan yang mereka lakukan adalah salah satu moda transformasi dari masyarakat berbasis pertanian ke industri dan jasa. Mengingat kemudahan untuk memasuki kegiatan ini berikut dengan minimnya tuntutan keahlian dan modal usaha, penduduk yang bermigrasi ke kota cenderung memilih kegiatan PKL.

Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia Ketiga yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal.

Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL.

Dominasi Sekolah Chicago dalam praktek perencanaan kota di negara-negara Dunia Ketiga termasuk di Indonesia menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang tidak mewadahi sektor informal. Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi oleh sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Alokasi ruang untuk sektor-sektor informal termasuk PKL adalah ruang marjinal. Sektor informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan.

Kesimpulannya, Fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL akan menempatkan sektor informal sebagai bagian terintegral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL.

KEBIJAKAN UNTUK MEMBERIKAN FASILITAS ATAU PEMBERDAYAAN SEKTOR INFORMAL DI INDONESIA

Penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan diperkotaan merupakan dua dari berbagai masalah besar yang harus dicari pemecahannya dalam pembangunan nasional. Beberapa ahli mengatakan dan pengamat ekonomi menganjurkan perlunya perhatian pada pengembangan kegiatan ekonomi sektor informal diperkotaan. Namun, ada juga yag cenderung lebih menekankan kepada kegiatan ekonomi sektor modern. Misalnya, melalui perluasan investasi dan industrialisasi di perkotaan.

Pendapat ini juga beranggapan bahwa pengembangan sektor informal diperkotaan hanya akan menimbulkan persoalan baru baik sosial maupun lingkunagn perkotaan. Namun di lain pihak, informalisasi perkotaan dapat menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan diperkotaan indonesia. Oleh karena itulah butuh perhatian yang lebih besar terhadap sektor informal ini. Hal ini karena sektor informal mampu menjadi sumber pertumbuhan baru serta tumpuan utama dalam pembangunan nasional di masa mendatang.

Sektor informal selain penuh dengan kontroversi juga memiliki manfaat yang notabene membantu khususnya dalam perekonomian. Kadir dan Bintoro (2000) mengatakan sektor informal memiliki dua manfaat, yakni :
a)   Dalam berbagai keterbatasannya serta dalam situasi persaingan ekonomi kapitalis yang ketat, sektor informal telah menunjukkan kemampuannya untuk bertahan, meskipun dalam kekurangan dan ketidaklayakannya.
b) Sektor informal telah menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan bekerja dalam sektor formal.


Adapun beberapa masalah yang dihadapi oleh sektor informal diantaranya adalah :
a) Terhambatnya proses pemberdayaan sektor informal bukan saja diakibatkan oleh terbatasnya anggaran tetapi juga adanya kebijakan pemerintah (pusat/daerah) yang memang cenderung kurang menghendaki terjadinya transformasi informal menuju formal yang maju dan modern.
b) Pelaku sektor informal juga belum memiliki manajemen usaha yang bisa membuat mereka bekerja efisien dan memiliki daya tawar yang kuat.
c) Faktor keterbatasan modal dan akses terhadap pasar merupakan kendala utama yang bersifat akut dan belum bisa tertanggulangi secara sempurna.
d)  Sektor informal belum bisa mengorganisasikan diri dengan dunia luar (bahkan diantara mereka sendiri) akibat adanya hambatan dari pemerintah yang tidak bisa memperbolehkan mereka untuk berkelompok secara kuat dan intensif.
e) Belum adanya upaya advokasi yang tumbuh dari dalam sektor informal. Mereka sangat disibukkan oleh usaha yang mereka geluti. Seperti, 24 jam memikirkan bagaimana mengembangkan usahanya, menyelamatkan usahanya dari ancaman dari pemerintah yang ingin menggusurnya, dll.

Sektor informal dipandang sebagai perusak kota, walaupun sebenarnya ada pula sisi positif dari tumbuhnya sektor informal ini. Hambatan dalam keberlangsungan sektor informal :
a) Belum diakuinya sektor tersebut sebagai sektor yang berpotensi besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Umumnya master plan kota justru mempunyai rencana penggusuran dan pengkonsentrasian unit usaha sektor informal disalah satu tempat dengan dalih demi keindahan, kebersihan, ketertiban kota.
b)  Para pejabat dan kaum elite lokal biasanya memandang sektor informal terutama PKL sebagai gangguan yang membuat kota menjadi kotor dan tidak rapi, menyebabkan kemacetan lalu lintas, dll.
Pengembangan sektor informal.

Dalam beberapa kebijakan, pemerintah dinilai kurang memihak sektor informal khususnya PKL. Oleh karena itu dikembangkan model bagi pengembangan sektor informal yang bernuansa tata kota. Model ini dibagi dalam beberapa tahap :

Tahap perencanaan
Yang harus dilakukan oleh pemerintah :
-   Mendata jumlah sektor informal dan target sektor informal yang akan ditangani
-   Menginformasikan tentang program pembinaan
-  Pemerintah sudah memiliki alternatif lokasi/tempat yang akan digunakan untuk sektor informal (tempat strategis dan biayanya murah)
-  Pemerintah boleh menyediakan modal senri untuk sektor informal atau bekerja sama dengan pihak swasta
-   Pemerintah harus menyediakan aparat yang mempunyai loyalitas tinggi terhadap tugas

Tahap pelaksanaan
a)    Dialog dan musyawarah
-  Mampu memberikan arahan dan pembinaan dengan tujuan membantu sektor informal dalam memperoleh lokasi yang lebih baik, membantu permodalan dan bernuansa tata kota
-   Pemerintah mensosialisasikan kebijakan tentang tata kota
b)    Musyawarah dan dialog
-   Diharapkan pemerintah bisa memancing aspirasi dari sektor informal
-   Mencari jalan keluar yang menguntungkan dua belah pihak
-   Diharapkan pelaku sektor informal dapat menerima dengan kesadaran tentang kebijakan pemerintah
c)    Pemberian pembinaan
-   Pembinaan keterampilan membuat produk
-  Pembinaan kelembagaan, agar sektor informal mempunyai wadah untuk menampung segala kegiatannya sehingga kegiatannya menjadi lebih ringan dan lancar
-  Pembinaan permodalan, untuk membantu mengembangkan usahanya dengan pemberian kredit
- Pembinaan pasar, pengelolaan lokasi sektor informal di pasar sebagai lokasi terbarunya
- Pembinaan manajemen usaha, agar dapat mengembangkan usahanya dan pemerintah bisa menerapkan pajak progresif. Pembinaan manajemen usaha dapat dibagi dalam 2 bagian :
1)      Pembinaan manajemen dalam hal mengelola keuangan
2)      Pembinaan manajemen dalam hal pemasaran dan pelayanan konsumen

LANGKAH PEMBERDAYAAN SEKTOR INFORMAL

Apabila sektor informal dikelola dengan baik, maka sektor informal akan menjadi sebuah survival strategy. Hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari campur tangan pemerintah dan semua pihak dalam mewujudkan potensi yang ada dalam sektor ekonomi informal melalui langkah-langkah kebijakan sebagai berikut :
1)      Pemerintah daerah dapat memahami modernisasi di perkotaan bukan hanya pembangunan plaza dan mal-mal saja. Tetapi, modernisasi perkotaan perlu diartikan sebagai pemberian tempat yang lebih layak bagi ekonomi informal pada struktur ekonomi perkotaan yang merupakan sumber kehidupan sebagian besar rakyat miskin.
2)   Retribusi atau pajak yang dibebankan kepada sektor ekonomi informal oleh pemerintah daerah seharusnya memperhitungkan tarif retribusi tersebut berdasarkan pendapatan real yang juga adanya timbal balik berupa pelayanan kebersiha dan keamanan sektor ekonomi informal. Pemerintah juga harus membantu dalam hal permodalan berbubga rendah untuk mendapatkan lokasi usaha, baik itu kerja sama dengan swasta atau dari APBD.
3)      Hendaknya pemerintah daerah bekerja sama dengan LSM menciptakan pusat pelayanan bagi sektor-sektor ekonomi informal demi pemberdayaan dan peningkatan SDM. Selain itu juga harus dilaksanakan pelatihan bagi sektor informal. Pelatihan ditujukan untuk menyebarkan informasi seputar kegiatan usaha, pengembangan wawasan, dasar pengelolaan usaha, dan pemanfaatan peluang usaha.

Daftar pustaka
Faulizar,Yuzarian.2010.Pengembangan dan Pemberdayaan Sektor Informal.From
Rukmana,Deden.2008.Pedagang Kakilima Dan Informalitas Perkotaan.From
Zakik.2006.Analisa Strategi Dan Kebijakan Penanganan Pedagang Kakilima di Kota Surabaya.Vol 1 No.2 2006,92-119.
http://ijaltruelife.blogspot.com/2011/05/sektor-informal-eagle-awards-2011.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar