iklan

Rabu, 24 Juli 2013

LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar belakang
Konsep  dasar  perdagangan  bebas  adalah  penghilangan  hambatan-hambatan dalam    perdagangan  internasional,  namun  yang  menjadi  problema  adalah  bahwa perdagangan  bebas  dalam  sistem  multilateral  WTO  terhambat  dan  tidak  berjalan dengan  baik,  sehingga  mulailah  negara-negara  membentuk  blok-blok  perdagangan dengan  tujuan  meraih keuntungan langsung dan memajukan pertumbuhan ekonomi regional lebih maju dan berkembang. Blok-blok perdagangan ini dibentuk untuk  mewujudkan  kawasan  perdagangan bebas  dengan  menghilangkan  atau  mengurangi  hambatan-hambatan  perdagangan barang  baik  tarif  maupun  non-tarif.  Peningkatan  aspek  pasar  jasa,  peraturan  dan ketentuan  investasi,  sekaligus  peningkatan  aspek  kerjasama  ekonomi  untuk mendorong  perkonomian  para  pihak  dalam  rangka  meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Secara khusus, keterlibatan Indonesia dalam perjanjian perdagangan bebas ini perlu untuk dicermati lebih lanjut. Hal ini terkait dengan banyak faktor seperti kesiapan produk dalam negeri menghadapi serangan barang impor, serta potensi pasar yang menjadi berkurang. Terlebih lagi kesiapan komoditas pangan Indonesia saat ini.

Perkembangan perdagangan internasional mengarah pada bentuk perdagangan yang lebih bebas yang disertai dengan berbagai bentuk kerjasama bilateral, regional dan multilateral. Perundingan  bidang  pertanian  dalam  forum  kerjasama  multilateral  diwadahi oleh badan dunia World Trade Organization (WTO) dimana badan dunia ini didirikan karena adanya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), persetujuan setelah Perang  Dunia  II  untuk meniadakan  hambatan  perdagangan  internasional. Sejalan dengan  hal  tersebut,  kerjasama  antara  negara  berdekatan  secara  regional  muncul dimana-mana seperti AFTA (ASEAN Free Trade Area), NAFTA (North America Free Trade  Agreement),  EU  (Europe Union), MERCOSUR  (the  Southern  Part  of  South America), CARICOM (Central America) dan lain-lain. Salah satu tujuan utama perjanjian perdagangan internasional adalah berupaya mengurangi atau menghilangkan hambatan perdagangan. Liberalisasi perdagangan dunia dengan pola kerjasama internasional memberikan implikasi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.


Suatu kebijakan pembangunan yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu ecological security, livelihood security dan food security. Suatu sustainable agriculture adalah suatu sistem pertanian yang mendasarkan dirinya pada pemanfaatan sumberdaya alam (lahan, air dan kenearagaman hayati lainnya) secara lestari. Tetapi Nampaknya liberalisasi pardagangan produk-produk pertanian akan mengubah ketiga aspek dasar kebijakan ketahanan ekologis suatu sistem pertanian, dan tidak menjadikan pertanian menjadi bebas. Sebaliknya liberalisasi perdagangan justru memperkuat sentralisme pembangunan pertanian karena keputusan seperti itu akan mendorong terciptanya konsentrasi pemilikan sumberdaya alam, dengan cara menghilangkan batasan kepemilikan terhadap sumber alam tersebut.
Menurut Chacholiades (1978) partisipasi dalam perdagangan internasional bersifat bebas  (free)  sehingga  keikutsertaan suatu negara pada kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela. Dari sisi internal, keputusan suatu negara melakukan perdagangan internasional merupakan pilihan (choice), maka sering  dikatakan  perdagangan  seharusnya memberikan keuntungan  pada kedua pihak (mutually  benefited). Meningkatnya  intensitas  kerjasama regional  ini  tentu akan memberikan pengaruh terhadap kemudahan arus perdagangan antar negara-negara yang terikat perdagangan internasional. Terjadinya penurunan harga akibat produksi dunia yang melimpah  akan  mengakibatkan  banjir  impor  (impor  surge).    Dengan  kondisi  yang  demikian,  bila  modalitas  sudah  ditetapkan,  tidak  ada  kewenangan  pihak  manapun yang  dapat  menghalangi  kesepakatan  yang  telah  ditetapkan  bersama.
1.2 Rumusan masalah
            1. Bagaimana Perkembangan Perjanjian Internasional Indonesia?
            2. Bagaimana Persoalan Pertanian yang terjadi di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
            1. Untuk mengetahui Perkembangan Perjanjian Internasional Indonesia?
 2. Untuk mengetahui Persoalan Pertanian yang terjadi akibat liberisasi perdagangan di Indonesia?


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Definisi Teori perdagangan internasional
Perdagangan Internasional dapat diartikan sebagai hubungan kerjasama ekonomi yang dilakukan oleh negara yang satu dengan negara lain yang berkaitan dengan barang dan jasa sehingga mampu membawa suatu kemakmuran bagi suatu negara. Perdagangan internasional merupakan hubungan akegiatan ekonomi antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang dan jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan. Perdagangan internasional juga dikenal dengan sebutan perdagangan dunia. Perdagangan internasional terbagi menjadi dua bagian yaitu impor dan ekspor, yang biasanya disebut sebagai perdagangan ekspor impor. Berikut ini adalah teori dari para ahi ekonomi dari masyarakat kaum klasik mengenai perdagangan internasional:
1.       Teori keunggulan mutlak (absolute Advantage Theory) Adam smith mengemukakan idenya tentang pembagian kerja internasional yang membawa pengaruh besar bagi barang-barang negara tersebut serta akibatnya berupa spesialisasi internasional yang dapat memberikan hasil berupa manfaat perdagangan yang timbul dari dalam atau berupa kenaikan produksi serta konsumsi barang-barang dan jasa-jasa. Menurut Adam Smith bahwa dengan melakukan spesialisasi internasional, maka masing-masing negara akan berusaha untuk menekan produksinya pada barang-barang tertentu yang sesuai dengan keuntungan yang dimiliki baik keuntungan alamiah maupun keuntungan yang diperkembangkan.
Yang dimaksud dengan keuntungan alamiah adalah keuntungan yang diperoleh karena suatu negara memiliki sumberdaya yang tidak dimiliki oleh negara lain baik kualitas maupun kuantitas. Sedangkan yang dimaksud dengan keuntungan yang diperkembangkan adalah keuntungan yang diperoleh karena suatu negara mampu mengembangkan kemampuan dan keterampilan dalam menghasilkan produk-produk yang diperdagangkan yang belum dimiliki oleh negara lain. (soelistyo,199:28)

2.      Teori keunggulan komperatif (comparative Advantage Theory) teori ini dikemukakan oleh David Ricardo untuk melengkapi teori Adam Smith yang tidak mempersoalkan kemungkinan adanya negara-negara yang sama sekali tidak mempunyai keunggulan mutlak dalam memproduksi suatu barang terhadap negara lain misalnya negara yang sedang berkembang.
Menurut Ricardo keuntungan mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith dapat berlaku di dalam perdagangan dalam negeri yang dijalankan atas dasar ongkos tenaga kerja, karena adanya persaingan bebas dan kebebasan bergerak dari faktor-faktor produksi tenaga kerja dan modal.
Karena itu masing-masing tempat akan melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang-barang tertentu apabila memiliki ongkos tenaga kerja yang paling kecil. Sedangkan untuk perdagangan luar negeri tidak
dapat didasarkan pada keuntungan atau ongkos mutlak. Karena faktor-faktor produksi di dalam perdagangan luar negeri tidak dapat bergerak bebas sehingga barang-barang yang dihasilkan oleh suatu negara mungkin akan ditukarkan dengan barang-barang dari negara lain meskipun ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuat barang tersebut berlainan.

Dengan demikian inti Keuntungan komparatif dapat dikemukakan sebagai berikut: Bahwa suatu negara akan menspesialisasi dalam memproduksi barang  yang lebih efisien dimana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif.(Budiono,1990:35) Atau dengan kata lain, Kemampuan untuk menemukan barang-barang yang dapat di produksi pada tingkat biaya relatif yang lebih rendah daripada barang lainnya. (Charles P.Kidlleberger dan Peter H. Lindert, Ekonomi Internasional terjemahan Burhanuddin Abdullah,1991:30) Untuk itu bagi negara yang tidak memiliki faktor-faktor produksi yang menguntungkan, dapat melakukan perdagangan internasional, asalkan negara tersebut mampu menghasilkan satu atau beberapa jenis barang yang paling produktif.

2.2  Ciri utama perdagangan Internasional
Perdagangan internasional berada dalam lingkup komoditi dalam pertukaran barang, dengan adanya perbedaan alam di tiap Negara. Namun, dengan adanya perbedaan di tiap – tiap Negara atau daerah, oleh sebab itu ada beberapa karakteristik utama dalam perdagangan Internasional:

1. Perdagangan internasional dalam barang dan jumlah jumlah transaksi lebih umumnya, transportasi jarak jauh, untuk memenuhi waktu yang lama, sehingga kedua belah pihak menganggap risiko yang lebih besar dari perdagangan
2. Rentan terhadap perdagangan internasional dalam barang perdagangan kedua negara dalam politik dan ekonomi perubahan dalam situasi internasional, hubungan bilateral memiliki dampak dalam perubahan kondisi.
3. Barang dalam perdagangan internasional, perdagangan di samping kedua belah pihak, yang harus berhubungan dengan transportasi, asuransi, perbankan, komoditi inspeksi, adat dan lainnya departemen bekerja sama dengan proses perdagangan dalam negeri akan semakin kompleks.

2.3 Faktor Penyebab terjadinya perdagangan Internasional
1. Perbedaan dalam memproduksi barang Satu negara tidak dapat memproduksi barang tertentu.  
2. Negara tidak dapat memproduksi barang sesuai dengan permintaan masyarakat Kadang kala masyarakat tidak menyukai barang yang diproduksi oleh negaranya sendiri. Misalnya saja masyarakat Indonesia, mereka tidak puas memakai barang produksi dalam negeri. Masyarakat Indonesia lebih menyukai memakai barang impor dari negara lainnya, misalnya sepatu, tas, dan baju yang lebih bermerk. 
3. Produksi dalam negeri yang tidak seimbang dengan permintaan pasar. Persediaan barang dan permintaan pasar disetiap negara yang tidak seimbang. (Liang, 1999)


`BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Perkembangan Perjanjian Perdagangan Internasional
            Dalam liberalisasi  perdagangan di  Sektor Pertanian, Putaran Uruguay telah menghasilkan dokumen kompromi pada bulan Desember 1993. Menurut  Feridhanusetyawan (1998), hasil perundingan tersebut merupakan agenda yang  ambisius dalam reformasi perdagangan di Sektor  Pertanian. Ada  dua  hal yang  disepakati, yaitu: (1) Melaksanakan liberalisasi perdagangan, dengan menerapkan  aturan   permainan GATT  di bidang pertanian; dan  (2) Setiap   negara   menyusun  besaran tarif yang akan diterapkan, serta melakukan konversi terhadap hambatan non-tarif ke dalam ekivalen tarif (Kartadjoemena, 1997;   Feridhanusetyawan, 1998). Ada tiga  aspek yang dihasilkan dari perundingan   Putaran   Uruguay   di  bidang pertanian, yaitu: (1) Pengurangan hambatan akses pasar, berupa penurunan  tarif; (2) Pengurangan subsidi domestik; dan (3) Pengurangan subsidi ekspor.
Liberalisasi perdagangan di Sektor Pertanian yang telah dilakukan saat ini mencakup   1.341   jenis   barang   pertanian,   dengan   tarif   rata-rata   pada   tahun   1998  sebesar 8,12 persen (Nainggolan, 2000). Besaran tarif ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan komitmen Indonesia dalam GATT yang menyetujui   penerapan tarif sebesar 40 persen untuk 1.041 jenis barang, lebih dari 40 persen untuk 300 jenis barang dan kurang dari 40 persen untuk 27 jenis barang (GATT, 1994).
Dalam  perkembangan  berikutnya, negara-negara maju sampai saat  ini ternyata masih belum sepenuhnya  memenuhi komitmen dalam GATT, dengan memberikan proteksi yang besar terhadap produk pertanian yang dihasilkan oleh negara-negara   berkembang   dan   diekspor   ke   negara-negara   maju. Dengan   pola   perdagangan produk pertanian   dunia   seperti itu, petani di  negar  yang    tidak   memberikan proteksi  (seperti Indonesia) telah mengalami kerugian akibat penurunan harga (Gibson, et al., 2001). Dengan tingkat    proteksi seperti    itu,  maka pandangan bahwa kesepakatan GATT/WTO akan segera menciptakan pasar   komoditas pertanian  dunia yang bersaing bebas adalah  keliru dan proteksi dan subsidi yang diberikan oleh negara-negara maju telah menghambat berlangsungnya penentuan harga yang lebih adil di pasar dunia, sehingga  berbagai skenario yang telah disusun oleh GATT/WTO tidak mencapai  sasarannya. (PSE, 2000).
Dengan melihat kenyataan bahwa perjanjian perdagangan internasional di  bawah   payung   WTO   telah   merugikan   negara-negara   berkembang,   maka   dalam setiap   pertemuan   yang   membahas   perdagangan   di   Sektor   Pertanian   telah   terjadi perdebatan   dan   membentuk   blok-blok   sesuai   dengan   kepentingan   setiap   negara. Pertemuan terakhir yang dilaksanakan di Cancun, Mexico, mengalami kebuntuan, sehingga negara-negara anggota WTO sepakat untuk menerapkan perjanjian awal yang ditanda-tangani pada bulan Desember 1983.
Liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional dalam era globalisasi saat ini, tidak terkecuali perdagangan pangan. Sebagai negara ekonomi terbuka dan ikut meratifikasi berbagai kesepakatan kerjasama ekonomi dan perdagangan  regional maupun global, tekanan liberalisasi melalui berbagai aturan kesepakatan kerja-sama tersebut bukan tidak mungkin pada akhirnya akan berbenturan dengan kebijakan internal dan mengancam kepentingan nasional.

3.2 Persoalan Pertanian di Indonesia

Sektor pertanian tetap mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi. Sektor pertanian merupakan sumber pertumbuhan output nasional, menurut Herliana (2004) sektor pertanian memberikan kontribusi 19,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari keseluruhan sektor perekonomian Indonesia. Meskipun secara absolut masih lebih kecil dari sektor lainnya seperti jasa (43,5 persen) dan manufaktur (23,9 persen) namun sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar yaitu sebesar 47,1 persen

Indonesia menganut sistem ekonomi  terbuka  sehingga  keterkaitan  pasar domestik dengan pasar dunia (global) menjadi sulit  dihindarkan,  termasuk  untuk  pasar pangan. Masalahnya, dengan tekanan liberalisasi yang semakin kuat bagaimana pemerintah dapat memanfaatkan peluang pasar global untuk mendukung ketahanan pangan nasional tetapi  dengan  menghindari  kemungkinan dampak negatif pengaruh liberalisasi terhadap produsen pangan di dalam negeri. Di Indonesia tarif impor komoditas pertanian, kecuali beras dan gula pasir telah diturunkan hingga tinggal 0-5 persen dan subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998. Dengan demikian, sektor pertanian di Indonesia telah mengalami liberalisasi dan hanya mengacu pada sinyal pasar (Hadi, 2003).   
Meningkatnya  intensitas  kerjasama internasional  ini  tentu akan memberikan pengaruh  terhadap kemudahan arus perdagangan antar negara-negara. Terjadinya penurunan harga akibat produksi dunia yang melimpah  akan  mengakibatkan  banjir  impor  (impor  surge).    Dengan  kondisi  yang demikian,  bila  modalitas  sudah  ditetapkan,  tidak  ada  kewenangan  pihak  manapun yang  dapat  menghalangi  kesepakatan  yang  telah  ditetapkan  bersama.  Dengan demikian  isu  utama  bagi  pertanian  secara  umum  adalah  bagaimana  kawasan perdagangan bebas  ini  berdampak positif pada petani.

Masyarakat tani di Indonesia tidak dapat menghindari arus perubahan besar globalisasi, salah satu cara yang biasa ditempuh adalah mengikuti dan memanfaatkan arus perubahan besar untuk mengambil kesempatan secara maksimal. Dampak arus globalisasi dalam bidang pertanian adalah ditandai dengan masuknya produksi pertanian impor yang relatif murah karena diproduksi dengan cara efisien dan pemberian subsidi yang besar pada petani di negara asalnya, produk tersebut membanjiri di pasar-pasar domestik di Indonesia. Gejala perdagangan bebas ditandai dengan mengalirnya beras, gula, kedele, jagung, ayam potong dari beberapa negara tetangga, bahkan udang pun masuk dari China ke Indonesia. Beberapa masalah mendasar yang masih banyak dihadapi oleh petani dan sektor pertanian di Indonesia adalah masih lemahnya interlinkage antara penyedia input, pasar, industri pengolahan dan lembaga keuangan dengan para petani kita. Sebenarnya negara kita memiliki potensi pertanian dan sumber bahan baku yang luar biasa namun belum dikelola dengan efisien. Komoditas perikanan, perkebunan, tanaman pangan dan hutan yang luar biasa belum dikelola secara profesional dan efisien untuk meningkatkan daya saing dan memberikan nilai tambah bagi petani yang terlibat di dalamnya.

Persoalan pertanian khususnya tanaman pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan produksi tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Namun, terkait dengan aspek perdagangan internasional, pemerintah justru banyak meliberalisasi pasar produk pertanian padahal aturan WTO masih memberi kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar domestik. Subsidi pertanian seperti subsidi input dikurangi sangat drastis oleh pemerintah padahal negara-negara maju masih memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap tahunnya kepada sektor pertanian (The New York Times, 2 Desember 2002).
Selain ketidak-fair-an dalam hal subsidi input dan subsidi ekspor, hal lain yang sangat terasa pada lemahnya perlindungan petani kita adalah rendahnya penerapan tarif produk pertanian impor. Proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian di negara-negara maju ditunjukan dengan perlindungan produk dalam negeri melalui penerapan tarif impor yang tinggi. Bahkan di sejumlah negara eksportir beras, gula dan produk pertanian lainnya tarif impornya sangat tinggi.


BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
Meskipun secara teori, liberalisasi akan menghasilkan manfaat bagi para pelaku perdagangan, dalam implementasinya terjadi ketimpangan dan perbedaan. Produsen pertanian Negara berkembang pada umumnya berada pada posisi yang dirugikan atau sedikit sekali memperoleh benefit perdagangan internasional komoditas pertanian. Liberalisasi dapat mengakibatkan dampak buruk yang bisa mengancam pasar domestik dan kepentingan domestik lainnya menyangkut kesejahteraan petani produsen dan ketahanan pangan. Hal tersebut bias terjadi karena perbedaan dalam kepemilikan sumber daya, penguasaan teknologi produksi, perkembangan ekonomi dan komitmen pemerintah untuk membela kepentingan sektor pertanian.
Kemampuan sektor pertanian dalam peningkatan produksi sangat bergantung pada kemampuannya dalam mengatasi kendala pengembangan yang dihadapi saat ini, yang mencakup keterbatasan pengembangan lahan beririgasi, teknologi varietas unggul, ketersediaan anggaran pembangunan, dan penyediaan sistem insentif untuk mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani.

4.2  Saran
Untuk menjaga komoditas pertanian indonesia akibat adanya liberalisasi perdagangan yang terjadi, sebaiknya pemerintah:
 (1)   Melakukan proteksi   terhadap     komoditas     substitusi   impor,    khususnya   komoditas-komoditas yang   banyak   diusahakan   oleh   petani.   Komoditas   yang   dijadikan   pilihan   untuk mendapat proteksi adalah beras, jagung, kedelai dan gula;
(2) Melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas promosi ekspor,   khususnya komoditas-komoditas perkebunan yang banyak diusahakan oleh   petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk mendapat promosi adalah karet, kopi, coklat, CPO dan lada.

             Untuk itu, kebijakan perdagangan komoditas pertanian dalam jangka menengah dan jangka panjang, harus didasarkan atas sasaran sebagai berikut:
 1.   Memberikan proteksi terhadap komoditas beras, agar 95 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari produksi beras di dalam negeri;
2.   Memberikan proteksi terhadap komoditas jagung, kedelai dan gula, agar 80 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari produksi jagung, kedelai  dan gula di dalam negeri;
 3.  Meningkatkan ekspor CPO dengan laju 10 persen/tahun, sementara untuk komoditas karet, kopi, coklat dan lada  dapat meningkat dengan laju 5 persen/tahun;
4.   Menyediakan subsidi domestik dalam bentuk subsidi pupuk dan bunga kredit,   sehingga para petani dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas produk     yang dihasilkan.


Daftar Pustaka

Dermoredjo, Saktyanu Kristyantoadi, 2012. Analisis Dampak Perdagangan Bebas Asean Terhadap Pengembangan Komoditas  Pangan Utama Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Malian, A. Husni, 2004, Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia, AKP. Vol 2 No 2, Juni 2004 : 136-156

Ibrahim, dkk, 2010, Dampak Pelaksanaan Acfta Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010

Hafidh, Aula Ahmad SF,  Liberalisasi Perdagangan Dan Perspektif Ekonomi Pertanian Di Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta

Purba, Helena J., dkk, 2007, Dampak Penurunan Bantuan Domestik Terhadap Kinerja Ekonomi Komoditas Pertanian Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1,  Mei 2007 : 84 - 102

Widayanto, Sulistyo, 2011, Prosedur Notifikasi WTO untuk Transparansi Kebijakan Impor Terkait Bidang Perdagangan; Kewajiban Pokok Indonesia Sebagai Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization), Direktorat Kerjasama Multilateral Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

Hafidh, Aula Ahmad SF,  Liberalisasi Perdagangan Dan Perspektif Ekonomi Pertanian Di Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta


The New York Times, 2 Desember 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar