BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Konsep dasar
perdagangan bebas adalah
penghilangan hambatan-hambatan dalam perdagangan
internasional, namun yang
menjadi problema adalah
bahwa perdagangan bebas dalam
sistem multilateral WTO terhambat dan
tidak berjalan dengan baik,
sehingga mulailah negara-negara
membentuk blok-blok perdagangan dengan tujuan
meraih keuntungan langsung dan memajukan pertumbuhan ekonomi regional
lebih maju dan berkembang. Blok-blok perdagangan ini dibentuk untuk mewujudkan
kawasan perdagangan bebas dengan
menghilangkan atau mengurangi
hambatan-hambatan perdagangan barang baik
tarif maupun non-tarif.
Peningkatan aspek pasar
jasa, peraturan dan ketentuan
investasi, sekaligus peningkatan
aspek kerjasama ekonomi
untuk mendorong perkonomian para
pihak dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Secara khusus, keterlibatan Indonesia
dalam perjanjian perdagangan bebas ini perlu untuk dicermati lebih lanjut. Hal
ini terkait dengan banyak faktor seperti kesiapan produk dalam negeri menghadapi
serangan barang impor, serta potensi pasar yang menjadi berkurang. Terlebih
lagi kesiapan komoditas pangan Indonesia saat ini.
Perkembangan
perdagangan internasional mengarah pada bentuk perdagangan yang lebih bebas
yang disertai dengan berbagai bentuk kerjasama bilateral, regional dan
multilateral. Perundingan bidang pertanian
dalam forum kerjasama
multilateral diwadahi oleh badan
dunia World Trade Organization (WTO) dimana badan dunia ini didirikan karena
adanya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), persetujuan setelah Perang Dunia
II untuk meniadakan hambatan
perdagangan internasional.
Sejalan dengan hal tersebut,
kerjasama antara negara
berdekatan secara regional
muncul dimana-mana seperti AFTA (ASEAN Free Trade Area), NAFTA (North
America Free Trade Agreement), EU
(Europe Union), MERCOSUR (the Southern
Part of South America), CARICOM (Central America) dan
lain-lain. Salah satu tujuan utama perjanjian perdagangan internasional adalah
berupaya mengurangi atau menghilangkan hambatan perdagangan. Liberalisasi
perdagangan dunia dengan pola kerjasama internasional memberikan implikasi yang
positif terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.
Suatu
kebijakan pembangunan yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu ecological
security, livelihood security dan food security. Suatu sustainable
agriculture adalah suatu sistem pertanian yang mendasarkan dirinya pada
pemanfaatan sumberdaya alam (lahan, air dan kenearagaman hayati lainnya) secara
lestari. Tetapi Nampaknya liberalisasi pardagangan produk-produk pertanian akan
mengubah ketiga aspek dasar kebijakan ketahanan ekologis suatu sistem pertanian,
dan tidak menjadikan pertanian menjadi bebas. Sebaliknya liberalisasi perdagangan
justru memperkuat sentralisme pembangunan pertanian karena keputusan seperti
itu akan mendorong terciptanya konsentrasi pemilikan sumberdaya alam, dengan
cara menghilangkan batasan kepemilikan terhadap sumber alam tersebut.
Menurut Chacholiades (1978) partisipasi dalam perdagangan
internasional bersifat bebas (free) sehingga
keikutsertaan suatu negara pada kegiatan tersebut dilakukan secara
sukarela. Dari sisi internal, keputusan suatu negara melakukan perdagangan
internasional merupakan pilihan (choice), maka sering dikatakan
perdagangan seharusnya memberikan
keuntungan pada kedua pihak (mutually benefited). Meningkatnya intensitas
kerjasama regional ini tentu akan memberikan pengaruh terhadap
kemudahan arus perdagangan antar negara-negara yang terikat perdagangan
internasional. Terjadinya penurunan harga akibat produksi dunia yang
melimpah akan mengakibatkan
banjir impor (impor
surge). Dengan kondisi
yang demikian, bila
modalitas sudah ditetapkan,
tidak ada kewenangan
pihak manapun yang dapat
menghalangi kesepakatan yang
telah ditetapkan bersama.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana Perkembangan Perjanjian
Internasional Indonesia?
2. Bagaimana Persoalan Pertanian
yang terjadi di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Perkembangan
Perjanjian Internasional Indonesia?
2. Untuk mengetahui Persoalan
Pertanian yang terjadi akibat liberisasi perdagangan di Indonesia?
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Definisi Teori perdagangan internasional
Perdagangan Internasional dapat diartikan sebagai
hubungan kerjasama ekonomi yang dilakukan oleh negara yang satu dengan negara
lain yang berkaitan dengan barang dan jasa sehingga mampu membawa suatu
kemakmuran bagi suatu negara. Perdagangan internasional merupakan hubungan
akegiatan ekonomi antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran
barang dan jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan. Perdagangan
internasional juga dikenal dengan sebutan perdagangan dunia. Perdagangan
internasional terbagi menjadi dua bagian yaitu impor dan ekspor, yang biasanya
disebut sebagai perdagangan ekspor impor. Berikut ini adalah teori dari para
ahi ekonomi dari masyarakat kaum klasik mengenai perdagangan internasional:
1.
Teori keunggulan mutlak (absolute Advantage
Theory) Adam smith mengemukakan idenya tentang pembagian kerja internasional
yang membawa pengaruh besar bagi barang-barang negara tersebut serta akibatnya
berupa spesialisasi internasional yang dapat memberikan hasil berupa manfaat
perdagangan yang timbul dari dalam atau berupa kenaikan produksi serta konsumsi
barang-barang dan jasa-jasa. Menurut Adam Smith bahwa dengan melakukan
spesialisasi internasional, maka masing-masing negara akan berusaha untuk
menekan produksinya pada barang-barang tertentu yang sesuai dengan keuntungan
yang dimiliki baik keuntungan alamiah maupun keuntungan yang diperkembangkan.
Yang dimaksud dengan keuntungan
alamiah adalah keuntungan yang diperoleh karena suatu negara memiliki
sumberdaya yang tidak dimiliki oleh negara lain baik kualitas maupun kuantitas.
Sedangkan yang dimaksud dengan keuntungan yang diperkembangkan adalah
keuntungan yang diperoleh karena suatu negara mampu mengembangkan kemampuan dan
keterampilan dalam menghasilkan produk-produk yang diperdagangkan yang belum
dimiliki oleh negara lain. (soelistyo,199:28)
2. Teori keunggulan komperatif (comparative Advantage
Theory) teori ini dikemukakan oleh David Ricardo untuk melengkapi teori Adam
Smith yang tidak mempersoalkan kemungkinan adanya negara-negara yang sama sekali
tidak mempunyai keunggulan mutlak dalam memproduksi suatu barang terhadap
negara lain misalnya negara yang sedang berkembang.
Menurut Ricardo keuntungan mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith dapat berlaku di dalam perdagangan dalam negeri yang dijalankan atas dasar ongkos tenaga kerja, karena adanya persaingan bebas dan kebebasan bergerak dari faktor-faktor produksi tenaga kerja dan modal.
Karena itu masing-masing tempat akan melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang-barang tertentu apabila memiliki ongkos tenaga kerja yang paling kecil. Sedangkan untuk perdagangan luar negeri tidak
dapat didasarkan pada keuntungan atau ongkos mutlak. Karena faktor-faktor produksi di dalam perdagangan luar negeri tidak dapat bergerak bebas sehingga barang-barang yang dihasilkan oleh suatu negara mungkin akan ditukarkan dengan barang-barang dari negara lain meskipun ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuat barang tersebut berlainan.
Dengan demikian inti Keuntungan komparatif dapat dikemukakan sebagai berikut: Bahwa suatu negara akan menspesialisasi dalam memproduksi barang yang lebih efisien dimana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif.(Budiono,1990:35) Atau dengan kata lain, Kemampuan untuk menemukan barang-barang yang dapat di produksi pada tingkat biaya relatif yang lebih rendah daripada barang lainnya. (Charles P.Kidlleberger dan Peter H. Lindert, Ekonomi Internasional terjemahan Burhanuddin Abdullah,1991:30) Untuk itu bagi negara yang tidak memiliki faktor-faktor produksi yang menguntungkan, dapat melakukan perdagangan internasional, asalkan negara tersebut mampu menghasilkan satu atau beberapa jenis barang yang paling produktif.
Menurut Ricardo keuntungan mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith dapat berlaku di dalam perdagangan dalam negeri yang dijalankan atas dasar ongkos tenaga kerja, karena adanya persaingan bebas dan kebebasan bergerak dari faktor-faktor produksi tenaga kerja dan modal.
Karena itu masing-masing tempat akan melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang-barang tertentu apabila memiliki ongkos tenaga kerja yang paling kecil. Sedangkan untuk perdagangan luar negeri tidak
dapat didasarkan pada keuntungan atau ongkos mutlak. Karena faktor-faktor produksi di dalam perdagangan luar negeri tidak dapat bergerak bebas sehingga barang-barang yang dihasilkan oleh suatu negara mungkin akan ditukarkan dengan barang-barang dari negara lain meskipun ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuat barang tersebut berlainan.
Dengan demikian inti Keuntungan komparatif dapat dikemukakan sebagai berikut: Bahwa suatu negara akan menspesialisasi dalam memproduksi barang yang lebih efisien dimana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif.(Budiono,1990:35) Atau dengan kata lain, Kemampuan untuk menemukan barang-barang yang dapat di produksi pada tingkat biaya relatif yang lebih rendah daripada barang lainnya. (Charles P.Kidlleberger dan Peter H. Lindert, Ekonomi Internasional terjemahan Burhanuddin Abdullah,1991:30) Untuk itu bagi negara yang tidak memiliki faktor-faktor produksi yang menguntungkan, dapat melakukan perdagangan internasional, asalkan negara tersebut mampu menghasilkan satu atau beberapa jenis barang yang paling produktif.
2.2 Ciri utama perdagangan Internasional
Perdagangan internasional berada
dalam lingkup komoditi dalam pertukaran barang, dengan adanya perbedaan alam di
tiap Negara. Namun, dengan adanya perbedaan di tiap – tiap Negara atau
daerah, oleh sebab itu ada beberapa karakteristik utama dalam perdagangan
Internasional:
1. Perdagangan internasional dalam barang dan jumlah jumlah transaksi lebih umumnya, transportasi jarak jauh, untuk memenuhi waktu yang lama, sehingga kedua belah pihak menganggap risiko yang lebih besar dari perdagangan
2. Rentan terhadap perdagangan internasional dalam barang perdagangan kedua negara dalam politik dan ekonomi perubahan dalam situasi internasional, hubungan bilateral memiliki dampak dalam perubahan kondisi.
3. Barang dalam perdagangan internasional, perdagangan di samping kedua belah pihak, yang harus berhubungan dengan transportasi, asuransi, perbankan, komoditi inspeksi, adat dan lainnya departemen bekerja sama dengan proses perdagangan dalam negeri akan semakin kompleks.
1. Perdagangan internasional dalam barang dan jumlah jumlah transaksi lebih umumnya, transportasi jarak jauh, untuk memenuhi waktu yang lama, sehingga kedua belah pihak menganggap risiko yang lebih besar dari perdagangan
2. Rentan terhadap perdagangan internasional dalam barang perdagangan kedua negara dalam politik dan ekonomi perubahan dalam situasi internasional, hubungan bilateral memiliki dampak dalam perubahan kondisi.
3. Barang dalam perdagangan internasional, perdagangan di samping kedua belah pihak, yang harus berhubungan dengan transportasi, asuransi, perbankan, komoditi inspeksi, adat dan lainnya departemen bekerja sama dengan proses perdagangan dalam negeri akan semakin kompleks.
2.3
Faktor Penyebab terjadinya perdagangan Internasional
1. Perbedaan dalam memproduksi barang Satu negara
tidak dapat memproduksi barang tertentu.
2. Negara tidak dapat memproduksi barang sesuai dengan
permintaan masyarakat Kadang kala masyarakat tidak menyukai barang yang
diproduksi oleh negaranya sendiri. Misalnya saja masyarakat Indonesia, mereka
tidak puas memakai barang produksi dalam negeri. Masyarakat Indonesia
lebih menyukai memakai barang impor dari negara lainnya, misalnya sepatu, tas,
dan baju yang lebih bermerk.
3. Produksi dalam negeri yang tidak seimbang dengan
permintaan pasar. Persediaan barang dan permintaan pasar disetiap negara
yang tidak seimbang. (Liang, 1999)
`BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Perjanjian
Perdagangan Internasional
Dalam liberalisasi perdagangan di Sektor Pertanian, Putaran Uruguay telah
menghasilkan dokumen kompromi pada bulan Desember 1993. Menurut Feridhanusetyawan (1998), hasil perundingan tersebut
merupakan agenda yang ambisius dalam
reformasi perdagangan di Sektor Pertanian.
Ada dua
hal yang disepakati, yaitu: (1)
Melaksanakan liberalisasi perdagangan, dengan menerapkan aturan
permainan GATT di bidang pertanian;
dan (2) Setiap negara
menyusun besaran tarif yang akan
diterapkan, serta melakukan konversi terhadap hambatan non-tarif ke dalam ekivalen
tarif (Kartadjoemena, 1997;
Feridhanusetyawan, 1998). Ada tiga
aspek yang dihasilkan dari perundingan
Putaran Uruguay di bidang pertanian, yaitu: (1) Pengurangan
hambatan akses pasar, berupa penurunan tarif; (2) Pengurangan subsidi domestik; dan (3)
Pengurangan subsidi ekspor.
Liberalisasi
perdagangan di Sektor Pertanian yang telah dilakukan saat ini mencakup 1.341
jenis barang pertanian,
dengan tarif rata-rata
pada tahun 1998 sebesar 8,12 persen (Nainggolan, 2000).
Besaran tarif ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan komitmen Indonesia dalam
GATT yang menyetujui penerapan tarif
sebesar 40 persen untuk 1.041 jenis barang, lebih dari 40 persen untuk 300 jenis
barang dan kurang dari 40 persen untuk 27 jenis barang (GATT, 1994).
Dalam perkembangan
berikutnya, negara-negara maju sampai saat ini ternyata masih belum sepenuhnya memenuhi komitmen dalam GATT, dengan memberikan
proteksi yang besar terhadap produk pertanian yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang
dan diekspor ke
negara-negara maju. Dengan pola
perdagangan produk pertanian dunia seperti itu, petani di negar
yang tidak memberikan proteksi (seperti Indonesia) telah mengalami kerugian
akibat penurunan harga (Gibson, et al., 2001). Dengan tingkat proteksi seperti itu, maka pandangan bahwa kesepakatan GATT/WTO akan
segera menciptakan pasar komoditas pertanian dunia yang bersaing bebas adalah keliru dan proteksi dan subsidi yang
diberikan oleh negara-negara maju telah menghambat berlangsungnya penentuan
harga yang lebih adil di pasar dunia, sehingga
berbagai skenario yang telah disusun oleh GATT/WTO tidak mencapai sasarannya. (PSE, 2000).
Dengan
melihat kenyataan bahwa perjanjian perdagangan internasional di bawah
payung WTO telah
merugikan negara-negara berkembang,
maka dalam setiap pertemuan
yang membahas perdagangan
di Sektor Pertanian
telah terjadi perdebatan dan
membentuk blok-blok sesuai
dengan kepentingan setiap
negara. Pertemuan terakhir yang dilaksanakan di Cancun, Mexico, mengalami
kebuntuan, sehingga negara-negara anggota WTO sepakat untuk menerapkan
perjanjian awal yang ditanda-tangani pada bulan Desember 1983.
Liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar
internasional dalam era globalisasi saat ini, tidak terkecuali perdagangan
pangan. Sebagai negara ekonomi terbuka dan ikut meratifikasi berbagai
kesepakatan kerjasama ekonomi dan perdagangan
regional maupun global, tekanan liberalisasi melalui berbagai aturan
kesepakatan kerja-sama tersebut bukan tidak mungkin pada akhirnya akan
berbenturan dengan kebijakan internal dan mengancam kepentingan nasional.
3.2 Persoalan
Pertanian di Indonesia
Sektor pertanian tetap mempunyai peran yang sangat
penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi. Sektor
pertanian merupakan sumber pertumbuhan output nasional, menurut Herliana (2004)
sektor pertanian memberikan kontribusi 19,1 persen terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) dari keseluruhan sektor perekonomian Indonesia. Meskipun secara
absolut masih lebih kecil dari sektor lainnya seperti jasa (43,5 persen) dan
manufaktur (23,9 persen) namun sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja
terbesar yaitu sebesar 47,1 persen
Indonesia menganut sistem
ekonomi terbuka sehingga
keterkaitan pasar domestik dengan
pasar dunia (global) menjadi sulit
dihindarkan, termasuk untuk
pasar pangan. Masalahnya, dengan tekanan liberalisasi yang semakin kuat
bagaimana pemerintah dapat memanfaatkan peluang pasar global untuk mendukung
ketahanan pangan nasional tetapi
dengan menghindari kemungkinan dampak negatif pengaruh
liberalisasi terhadap produsen pangan di dalam negeri. Di Indonesia tarif impor
komoditas pertanian, kecuali beras dan gula pasir telah diturunkan hingga
tinggal 0-5 persen dan subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998.
Dengan demikian, sektor pertanian di Indonesia telah mengalami liberalisasi dan
hanya mengacu pada sinyal pasar (Hadi, 2003).
Meningkatnya
intensitas kerjasama
internasional ini tentu akan memberikan pengaruh terhadap kemudahan arus perdagangan antar
negara-negara. Terjadinya penurunan harga akibat produksi dunia yang melimpah akan
mengakibatkan banjir impor
(impor surge). Dengan
kondisi yang demikian, bila
modalitas sudah ditetapkan,
tidak ada kewenangan
pihak manapun yang dapat
menghalangi kesepakatan yang
telah ditetapkan bersama.
Dengan demikian isu utama
bagi pertanian secara
umum adalah bagaimana
kawasan perdagangan bebas
ini berdampak positif pada
petani.
Masyarakat tani di
Indonesia tidak dapat menghindari arus perubahan besar globalisasi, salah satu
cara yang biasa ditempuh adalah mengikuti dan memanfaatkan arus perubahan besar
untuk mengambil kesempatan secara maksimal. Dampak arus globalisasi dalam
bidang pertanian adalah ditandai dengan masuknya produksi pertanian impor yang
relatif murah karena diproduksi dengan cara efisien dan pemberian subsidi yang
besar pada petani di negara asalnya, produk tersebut membanjiri di pasar-pasar
domestik di Indonesia. Gejala perdagangan bebas ditandai dengan mengalirnya
beras, gula, kedele, jagung, ayam potong dari beberapa negara tetangga, bahkan
udang pun masuk dari China ke Indonesia. Beberapa masalah mendasar yang masih
banyak dihadapi oleh petani dan sektor pertanian di Indonesia adalah masih
lemahnya interlinkage
antara penyedia input, pasar, industri
pengolahan dan lembaga keuangan dengan para petani kita. Sebenarnya negara kita
memiliki potensi pertanian dan sumber bahan baku yang luar biasa namun belum
dikelola dengan efisien. Komoditas perikanan, perkebunan, tanaman pangan dan
hutan yang luar biasa belum dikelola secara profesional dan efisien untuk
meningkatkan daya saing dan memberikan nilai tambah bagi petani yang terlibat
di dalamnya.
Persoalan pertanian
khususnya tanaman pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan produksi
tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Namun, terkait
dengan aspek perdagangan internasional, pemerintah justru banyak meliberalisasi
pasar produk pertanian padahal aturan WTO masih memberi kesempatan pemerintah
untuk melindungi pasar domestik. Subsidi pertanian seperti subsidi input
dikurangi sangat drastis oleh pemerintah padahal negara-negara maju masih
memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap tahunnya kepada sektor pertanian
(The New York Times, 2 Desember 2002).
Selain
ketidak-fair-an dalam hal subsidi input dan subsidi ekspor, hal lain
yang sangat terasa pada lemahnya perlindungan petani kita adalah rendahnya
penerapan tarif produk
pertanian impor. Proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian di
negara-negara maju ditunjukan dengan perlindungan produk dalam negeri melalui
penerapan tarif impor
yang tinggi. Bahkan di sejumlah negara eksportir beras, gula dan produk
pertanian lainnya tarif impornya
sangat tinggi.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Meskipun secara teori,
liberalisasi akan menghasilkan manfaat bagi para pelaku perdagangan, dalam
implementasinya terjadi ketimpangan dan perbedaan. Produsen pertanian Negara
berkembang pada umumnya berada pada posisi yang dirugikan atau sedikit sekali
memperoleh benefit perdagangan internasional komoditas pertanian. Liberalisasi
dapat mengakibatkan dampak buruk yang bisa mengancam pasar domestik dan
kepentingan domestik lainnya menyangkut kesejahteraan petani produsen dan
ketahanan pangan. Hal tersebut bias terjadi karena perbedaan dalam kepemilikan
sumber daya, penguasaan teknologi produksi, perkembangan ekonomi dan komitmen
pemerintah untuk membela kepentingan sektor pertanian.
Kemampuan sektor pertanian
dalam peningkatan produksi sangat bergantung pada kemampuannya dalam mengatasi
kendala pengembangan yang dihadapi saat ini, yang mencakup keterbatasan
pengembangan lahan beririgasi, teknologi varietas unggul, ketersediaan anggaran
pembangunan, dan penyediaan sistem insentif untuk mendorong peningkatan
produksi dan pendapatan petani.
4.2 Saran
Untuk menjaga komoditas
pertanian indonesia akibat adanya liberalisasi perdagangan yang terjadi,
sebaiknya pemerintah:
(1)
Melakukan proteksi terhadap komoditas substitusi impor,
khususnya komoditas-komoditas
yang banyak diusahakan
oleh petani. Komoditas
yang dijadikan pilihan
untuk mendapat proteksi adalah beras, jagung, kedelai dan gula;
(2) Melakukan promosi
terhadap komoditas-komoditas promosi ekspor,
khususnya komoditas-komoditas perkebunan yang banyak diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan pilihan
untuk mendapat promosi adalah karet, kopi, coklat, CPO dan lada.
Untuk itu, kebijakan
perdagangan komoditas pertanian dalam jangka menengah dan jangka panjang, harus
didasarkan atas sasaran sebagai berikut:
1. Memberikan proteksi terhadap komoditas
beras, agar 95 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari produksi
beras di dalam negeri;
2. Memberikan proteksi
terhadap komoditas jagung, kedelai dan gula, agar 80 persen dari kebutuhan
nasional dapat dipenuhi dari produksi jagung, kedelai dan gula di dalam negeri;
3. Meningkatkan ekspor CPO dengan laju 10 persen/tahun,
sementara untuk komoditas karet, kopi, coklat dan lada dapat meningkat dengan laju 5 persen/tahun;
4. Menyediakan subsidi
domestik dalam bentuk subsidi pupuk dan bunga kredit, sehingga para petani dapat meningkatkan
kualitas dan produktivitas produk yang dihasilkan.
Daftar Pustaka
Dermoredjo,
Saktyanu Kristyantoadi, 2012. Analisis
Dampak Perdagangan Bebas Asean Terhadap Pengembangan Komoditas Pangan Utama Indonesia. Disertasi. Program
Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Malian, A. Husni,
2004, Kebijakan Perdagangan Internasional
Komoditas Pertanian Indonesia, AKP. Vol 2 No 2, Juni 2004 : 136-156
Ibrahim, dkk, 2010,
Dampak Pelaksanaan Acfta Terhadap
Perdagangan Internasional Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,
Juli 2010
Hafidh, Aula Ahmad
SF, Liberalisasi
Perdagangan Dan Perspektif Ekonomi Pertanian Di Indonesia, Universitas
Negeri Yogyakarta
Purba, Helena J.,
dkk, 2007, Dampak Penurunan Bantuan
Domestik Terhadap Kinerja Ekonomi Komoditas Pertanian Indonesia: Analisis
Simulasi Kebijakan, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 84 - 102
Widayanto,
Sulistyo, 2011, Prosedur Notifikasi WTO
untuk Transparansi Kebijakan Impor Terkait Bidang Perdagangan; Kewajiban Pokok
Indonesia Sebagai Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization), Direktorat Kerjasama Multilateral Direktorat Jenderal Kerja
Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
Hafidh, Aula Ahmad
SF, Liberalisasi
Perdagangan Dan Perspektif Ekonomi Pertanian Di Indonesia, Universitas
Negeri Yogyakarta
The New York
Times,
2 Desember 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar