BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Semua Negara di
dunia ini selalu dan pasti menghadapi masalah pengangguran dan inflasi. Kondisi yang full employment merupakan
kondisi ideal yang dinginkan oleh semua negara,
tapi kondisi tersebut
terlalu banyak rintangan
untuk mencapainya. Untuk mewujudkan kondisi
ideal untuk perekonomian
Pemerintah Indonesia menggunakan kebijakan fiskal
dan moneter. Pemerintah
di satu sisi
menginginkan agar tingkat pengangguran rendah tetapi tidak juga
membuat tingkat inflasi bertambah tinggi.
Inflasi (inflation)
adalah gejala yang menunjukkan kenaikan tingkat harga umum yang berlangsung
terus menerus. Dari pengertian tersebut maka apabila terjadi kenaikan harga
hanya bersifat sementara, maka kenaikan harga yang sementara sifatnya tersebut
tidak dapat dikatakan inflasi. Semua negara di dunia selalu menghadapi
permasalahan inflasi ini. Oleh karena itu, tingkat inflasi yang terjadi dalam
suatu negara merupakan salah satu ukuran untuk mengukur baik buruknya masalah
ekonomi yang dihadapi suatu negara. Bagi negara yang perekono-miannya baik,
tingkat inflasi yang terjadi berkisar antara 2 sampai 4 persen per tahun.
Tingkat inflasi yang berkisar antara 2 sampai 4 persen dikatakan tingkat
inflasi yang rendah. Selanjut tingkat
inflasi yang berkisar antara 7 sampai 10 persen dikatakan inflasi yang tinggi.
Namun demikian ada negara yang meng-hadapai tingkat inflasi yang lebih serius
atau sangat tinggi, misalnya Indonesia pada tahun 1966 dengan tingkat inflasi
650 persen. Inflasi yang sangat tinggi tersebut disebut hiper inflasi (hyper
inflation).
Ketika krisis
global yang melanda
sejak awal 2008,
negara adidaya seperti Amerika Serikat
menghadapi kesulitan dalam
mengatasi pengangguran akibat resesi
ekonomi terutama dari
sektor-sektor industri utama. Menurut data
yang diperoleh dari Bureau
of Labor Statistics
USA (2009), hingga
Juli 2009 pengangguran di Amerika
Serikat telah mencapai 14.5
juta jiwa dengan
tingkat pengangguran sebesar 9.4 persen dan diduga akan terus meningkat.
Pada saat terjadi
depresi ekonomi Amerika
Serikat tahun 1929,
terjadi inflasi yang
tinggi dan diikuti
dengan pengangguran yang
tinggi pula. Berdasarkan pada fakta
itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi dan
tingkat pengangguran di
Inggris. Dari hasil pengamatannya, ternyata ada
hubungan yang erat
antara inflasi dengan
tingkat pengangguran, dalam
arti jika inflasi tinggi, maka pengangguran akan rendah. Hasil
pengamatan Phillips ini dikenal dengan Kurva Phillips.
Penerapan teori
kurva Phillips di Indonesia diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai
hubungan inflasi dan
tingkat pengangguran di
Indonesia. Hal ini
diperlukan karena adanya
hubungan yang terjadi
antara inflasi dan pengangguran dapat berimplikasi terhadap kebijakan yang dapat dijalankan baik oleh otoritas
fiskal maupun moneter. Penerapan inflation
targeting dengan tujuan pencapaian tingkat inflasi yang rendah dalam
jangka panjang ternyata dihadapkan pada
kebijakan RAPBN 2009
yang salah satu
tujuannya adalah mengurangi tingkat pengangguran.
Jika hubungan negatif
antara inflasi dan
pengangguran yang dinyatakan dalam kurva Phillips memang terjadi, adanya
hubungan negative tersebut dapat menjadikan kedua kebijakan di atas tidak
efektif, sehingga dampak kebijakan yang terjadi tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
Pertumbuhan tenaga
kerja baru yang lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja
menimbulkan pengangguran yang tinggi. Pengangguran merupakan salah satu masalah
utama dalam jangka pendek yang selalu dihadapi setiap negara. Karena itu,
setiap perekonomian dan negara pasti menghadapi masalah pengangguran, yaitu
pengangguran alamiah (natural rate of unemployment).
Tingkat
pengangguran Indonesia rata-rata sebelum
krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3,3 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat
pengangguran naik menjadi
8,09 persen. Dengan
demikian, antara periode sebelum
dan sesudah krisis 1997 telah
terjadi perubahan rata-rata
tingkat pengangguran lebih
dari dua kali
lipatnya. Rata-rata tingkat
inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985-1996 relatif rendah
yaitu masih berkisar satu digit sebesar
7,9 persen per tahun. Namun, ketika terjadi krisis, tahun 1998 tingkat inflasi
mencapai 58,3 persen
dan setelah tahun
1998 tingkat inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen.
A.W. Phillips
menggambarkan bagaimana sebaran hubungan antara inflasi dengan tingkat
pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari
adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, maka
sesuai dengan teori permintaan, jika permintaan naik maka harga akan naik.
Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut
produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya
input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan permintaan
tenaga kerja maka dengan naiknya harga-harga (inflasi) maka, pengangguran
berkurang.
Dalam teori
kurva Phillips, inflasi
yang rendah ternyata
berkontribusi terhadap
tingkat pengangguran yang
tinggi, dan sebaliknya. Oleh karena
itu berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis hubungan antara
inflasi dengan tingkat
pengangguran sesuai dengan
pendekatan Kurva Phillips sehingga dapat diperoleh mekanisme
kerja kedua variabel tersebut.
1.2 Rumusan masalah
- Bagaimana
kondisi tingkat inflasi dan pengangguran di indonesia dari tahun 1980 –
2012?
- Bagaimana
kaitan antara inflasi dan pengangguran di Indonesia dari tahun 1980 – 2012?
1.3 Tujuan
Penelitian
1.
Untuk mengetahui kondisi tingkat
inflasi dan pengangguran di Indonesia dari tahun 1980-2012.
2.
Untuk mengetahui kaitan antara
inflasi dan pengangguran di indonesia dari tahun 1980-2012.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 LANDASAN TEORI
2.1.1 INFLASI
2.1.1.1 Definisi Inflasi
Secara sederhana inflasi diartikan sebagai
meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari
satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu
meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari
inflasi disebut deflasi (Bank Indonesia).
Inflasi
merupakan kecenderungan meningkatnya
tingkat harga secara umum
dan terus-menerus. Kenaikan harga
dari satu atau
dua barang saja
tidak disebut sebagai
inflasi, kecuali bila
kenaikan tersebut meluas
kepada (atau mengakibatkan
kenaikan) sebagian besar harga barang-barang lain. Menurut teori uang klasik,
perubahan dalam tingkat harga keseluruhan adalah seperti perubahan dalam
unit-unit ukuran. Karena sesungguhnya kesejahteraan ekonomi masyarakat
bergantung pada harga relatif, bukan pada seluruh tingkat harga (Mankiw, 2007).
Definisi lain
dari inflasi adalah
kenaikan rata-rata semua
tingkat harga semua barang dan
jasa dimana kenaikan harga-harga tersebut berlangsung dalam waktu yang
berkepanjangan dan secara terus-menerus. Menurut Milton Friedman, inflasi merupakan
sebuah fenomena moneter
yang selalu terjadi
dimanapun dan tidak dapat
dihindari. Inflasi dikatakan
sebagai fenomena moneter
hanya jika terjadi peningkatan
harga yang berlangsung
secara cepat dan
terus-menerus. pendapat ini disetujui oleh banyak ekonom dari aliran
monetaris (Mishkin, 2004).
Kenaikan harga
secara terus-menerus yang
menyebabkan inflasi dapat disebabkan oleh
naiknya nilai tukar
mata uang luar
negeri secara signifikan terhadap mata
uang dalam negeri.
Inflasi menurut teori
Keynes terjadi karena masyarakat hidup
diluar batas kemampuan
ekonominya. Teori ini
menyoroti bagaimana
perebutan sumber ekonomi
antar golongan masyarakat
bisa menimbulkan permintaan agregat yang
lebih besar daripada jumlah
barang yang tersedia. Dalam
teori strukturalis inflasi
berasal dari kekakuan
struktur ekonomi khususnya supply
bahan bakar minyak, dan bahan makanan yang mengakibatkan kenaikan harga pada
barang lain.
Lebih lanjut Samuelson (1989), menambahkan ada pendekatan lain
yang dapat menjadi pendekatan
lain dalam mengukur
tingkat inflasi selain
Indeks Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen yakni GNP Deflator. GNP
Deflator merupakan rasio GNP nominal dan
GNP rill. GNP yang merupakan pendapatan nasional ini
tersusun dari konsumsi,
investasi, pengeluaran pemerintah,
dan net ekspor suatu negara.
Seringkali timbul
kesalahpahaman mengenai konsep
inflasi di tengah masyarakat. Kesalapahaman
yang ada dimasyarakat
seperti anggapan tingkat inflasi membuat
harga barang semakin
mahal, dan inflasi
yang tinggi sebagai pertanda bahwa
masyarakat menjadi semakin
miskin. Samuelson (1989) menjelaskan bahwa
sesungguhnya inflasi berarti
rata-rata tingkat harga mengalami peningkatan.
Inflasi juga tidak
selalu membuat masyarakat
menjadi miskin apabila diikuti
oleh peningkatan pendapatan
masyarakat selama masa terjadinya inflasi.
Sehingga pendapatan rill
untuk kebutuhan hidup
sehari-hari mungkin saja meningkat atau menurun selama masa inflasi.
Secara umum
pendapat ahli ekonomi
menyimpulkan bahwa inflasi
yang menyebabkan turunnya daya beli dari nilai uang terhadap
barang-barang dan jasa, besar kecilnya ditentukan oleh elastisitas permintaan
dan penawaran akan barang dan jasa. Faktor
lain yang juga
turut menentukan fluktuasi
tingkat harga umum diantaranya adalah
kebijakan pemerintah mengenai
tingkat harga, yaitu
dengan mengadakan kontrol harga,
pemberian subsidi kepada
konsumen dan lain sebagainya.
Dari definisi
yang ada tentang
inflasi dapatlah ditarik
tiga pokok yang terkandung di dalamnya (Gunawan, 1991),
yaitu :
1.
Adanya
kecenderungan harga-harga untuk
meningkat, yang berarti
mungkin saja tingkat harga
yang terjadi pada
waktu tertentu turun
atau naik dibandingkan dengan
sebelumnya, tetapi tetap
menunjukkan kecenderungan yang
meningkat.
2.
Peningkatan harga tersebut
berlangsung terus menerus,
bukan terjadi pada suatu waktu saja.
3.
Mencakup tingkat harga
umum (general level
of prices) yang berarti
tingkat harga yang meningkat itu bukan hanya pada satu atau beberapa
komoditi saja.
Menurut Samuelson
(1989) tingkat inflasi
dapat yang ditentukan
dengan menghitung selisih tingkat
harga tahun tertentu dengan
tingkat harga tahun sebelumnya dan
dibandingkan tengan tingkat
harga tahun ini
dan dikalikan dengan seratus
persen.
Perhitungan
inflasi dilakukan melalui dua pendekatan yakni Indeks Harga Konsumen dan
Indeks Harga Produsen
(IHP). Indeks Harga
Konsumen yang dikenal sebagai IHK
atau CPI yang mengukur biaya dari pasar konsumsi barang dan jasa.
Biasanya inflasi didasarkan
kepada harga bahan
pangan, pakaian, perumahan, bahan
bakar minyak, transportasi, fasilitas kesehatan, pendidikan dan komoditi lainnya
yang biasa digunakan
dalam kehidupan sehari-hari
di masyarakat. Sedangkan Indeks
Harga Produsen atau yang
biasa dikenal sebagai PPI
merupakan pendekatan yang
digunakan dalam mengukur
tingkat inflasi berdasarkan biaya
produksi yang dikeluarkan
oleh produsen. Indeks ini berguna karena memberikan
penjelasan yang lebih
baik bagi dunia
usaha (Samuelson, 1989).
Menurut Rahardja
dan Manurung (2004)
suatu perekonomian dikatakan telah mengalami
inflasi jika tiga karakteristik berikut dipenuhi, yaitu : 1) terjadi kenaikan harga,
2) kenaikan harga
bersifat umum, dan 3)
berlangsung terusmenerus. Ada beberapa indikator
yang dapat digunakan untuk mengetahui
apakah suatu perekonomian sedang
dilanda inflasi atau
tidak. Indikator tersebut diantaranya :
1.
Indeks Harga Konsumen (IHK)
IHK adalah indeks harga yang paling umum
dipakai sebagai indikator inflasi. IHK
mempresentasikan harga barang
dan jasa yang
dikonsumsi oleh masyarakat dalam
suatu periode tertentu.
2.
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
IHPB
mertupakan indikator yang
menggambarkan pergerakan harga
dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan pada
tingkat produsen di
suatu daerah pada suatu
periode tertentu. Jika
pada IHK yang
diamati adalah barang-barang akhir
yang dikonsumsi masyarakat,
pada IHPB yang
diamati adalah barang-barang mentah
dan barang-barang setengah
jadi yang merupakan input bagi produsen.
3.
GDP Deflator
Prinsip
dasar GDP deflator
adalah membandingkan antara
tingkat pertumbuhan ekonomi nominal dengan pertumbuhan riil.
2.1.1.2 Jenis Inflasi
Inflasi terbagi kedalam tiga
jenis, yaitu :
1.
Inflasi menurut
tingkat keparahannya, yakni : Inflasi ringan (dibawah 10 persen setahun),
inflasi sedang (antara 10-30 persen setahun), inflasi berat (antara 30-100
persen setahun), hiperinflasi
(diatas 100 persen
setahun). Sedangkan
Samuelson (1989) mengklasifikasikan inflasi
menurut tingkat keparahannya
menjadi tiga jenis inflasi, yaitu:
a)
Moderate Inflation
Jika inflasi ditandai dengan peningkatan
harga secara perlahan. Relatif kecil
dengan kenaikan satu
digit persen tingkat
inflasi per tahun.
Ketika harga relatif stabil,
masyarakat mempercai nilai
uang dan mau menyimpannya karena tidak akan berkurang
nilainya secara cepat. Inflasi jenis
ini mendorong masyarakat
untuk melakukan investasi
portofolio jangka panjang, karena percaya adanya peningkatan harga aset
investasi di masa depan.
b)
Galloping Inflation
Jika
inflasi ditandai dengan
peningkatan harga dua
sampai tiga digit persen tingkat inflasi per tahun. Ketika
inflasi meningkat mengakibatkan distorsi dalam ekonomi. Secara
umum investasi akan beralih ke mata uang asing, karena mata uang dalam negeri mengalami
penurunan yang sangat cepat dan ditandai
dengan tingkat suku bunga
yang menyentuh level minus. Namun dengan manajemen yang
baik, inflasi jenis ini masih dapat dipulihkan seperti yang terjadi di Amerika
Latin di tahun 1980an.
c)
Hyperinflation
Merupakan tipe inflasi
yang terparah seperti yang
terjadi di Jerman pada tahun 1920-1923
dan yang terjadi
di Cina dan
Hungaria pasca perang dunia kedua. Tipe
inflasi ini juga
pernah terjadi di
Indonesia pada tahun 1963, sebagai akibat dari kebijakan pemerintah
untuk mendanai “proyek mercusuar”dengan mencetak uang secara terus-menerus. Hal
ini yang menyebabkan nilai uang
menjadi sangat rendah.
Tingkat inflasi pada
masa itu mencapai
600 persen sehingga pada
tanggal 13 Desember
1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai Rupiah dari 1000
Rupiah menjadi 1 Rupiah.
2.
Inflasi menurut penyebab terjadinya, yaitu :
a. Cost-Push Inflation
Inflasi yang
terjadi disertai turunnya
tingkat produksi. Jadi
inflasi jenis ini diikuti
resesi dalam perekonomian.
Keadaan ini timbul
dimulai dengan adanya penurunan penawaran total (aggregate
supply) sebagai akibat dari kenaikan biaya produksi.
b.
Demand-Pull Inflation
Inflasi ini bermula
dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi
telah dalam keadaan
kesempatan kerja penuh
atau hampir penuh. Jika
kondisi kesempatan kerja
penuh atau full
employment sudah terjadi, kenaikan permintaan total hanya akan
meningkatkan harga di pasar. Inflasi jenis ini disebut sebagai inflasi murni.
3.
Inflasi menurut asalnya, yakni:
a.
Domestic Inflation, yaitu inflasi yang berasal
dari dalam negeri. Penyebab dari
inflasi jenis ini
misalnya dari defisit anggaran
belanja yang dibiayai dengan mengeluarkan
kebijakan moneter menambah
jumlah uang yang beredar
berupa pencetakan uang baru,
gagal panen dari bahan makannan pokok, dan sebagainya.
b.
Imported Inflation, yaitu inflasi yang berasal
dari luar negeri. Mengingat Indonesia
merupakan negara dengan
ekomomi terbuka kecil, sehingga sangat dipengaruhi
oleh perekonomian global
termasuk tingkat inflasi. Imported inflationjuga dapat
disebabkan karena peningkatan dari harga di luar negeri yang dialami oleh mitra
dagang Indonesia.
Kenaikan harga
barang-barang impor yang
masuk ke Indonesia
akan mengakibatkan (1) kenaikan
indeks harga konsumen
karena sebagian dari kebutuhan sehari-hari masyarakat berasal
barang-barang impor tersebut, (2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga
produsen karena beberapa input produksi berasal
dari barang-barang import,
(3) secara tidak
langsung menimbulkan kenaikan harga
di dalam negeri
karena kenaikan harga
barang-barang impor mengakibatkan penurunan
penerimaan pemerintah dari
tarif impor yang dibebankan pada produk impor yang
permintaannya mengalami penurunan.
2.1.1.3 Dampak Inflasi
Selama periode inflasi
terjadi, tingkat harga
dan upah tidak bergerak dalam tingkatan
yang sama, maka
inflasi akan memberikan
dampak redistribusi pendapatan dan
kekayaan diantara golonag
ekonomi dalam masyarakat.
Serta menimbulkan terjadinya distorsi
dalam harga relatif,
output, dan kesempatan kerja, dan ekonomi secara
keseluruhan (Samuelson,1989).
Dampak inflasi
terhadap kegiatan ekonomi
masyarakat terbagi menjadi dua
yakni dampak psitif
dan dampak negatif.
Dampak positif dari
inflasi menyebabkan
peredaran dan perputaran
barang lebih cepat
di masyarakat sehingga produksi
barang-barang bertambah, dan
keuntungan pengusaha bertambah.
Kesempatan kerja bertambah, karena terjadi tambahan investasi yang tercipta berarti
membuka banyak lapangan
kerja baru sehingga
masalah pengangguran dapat berkurang.
Ketika inflasinya terkendali
dan diikuti dengan pendapatan nominal
yang bertambah, maka
pendapatan rill masyarakat meningkat.
Inflasi pun
memberikan dampak yang negatif terhadap
perekonomian seperti
kenaikan harga kebutuhan
hidup, nilai dan
kepercayaan terhadap uang akan
berkurang. Menimbulkan tindakan
spekulasi terhadap investasi
portofolio terutama
portofolio asing yang
paling diminati sehingga
berdampak terhadap melemahnya
nilai tukar mata uang domestik. Banyak proyek pembangunan macet atau terlantar
karena tidak sanggup membayar input dalam proyek yang harganya mengalami peningkatan.
Dengan terjadinya inflasi
menjadikan minat menabung masyarakat berkurang
sebagai akibat dari
turunnya nilai mata
uang jika hal
ini terjadi secara terus-menerus maka akan mematikan industri perbankan
nasional.
2.1.2 PENGANGGURAN
2.1.2.1 Definisi Pengangguran
Penduduk usia kerja adalah
penduduk berusia di atas 15 tahun. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Tenaga
kerja atau man
power terdiri dari
angkatan kerja dan
bukan angkatan kerja. Angkatan
kerja atau labor
force terdiri dari
(1) golongan yang bekerja,
dan (2) golongan
yang menganggur dan
mencari pekerjaan (Belante, 1990).
Menurut Lipsey,
et al. (1997),
pengangguran dapat dibedakan
menjadi tiga macam yaitu
pengangguran siklis, pengangguran
friksional, dan pengangguran struktural.
Pengangguran siklis adalah
penganggur yang terjadi karena permintaan
yang tidak memadai
untuk membeli semua
potensi output ekonomi, sehingga
mengakibatkan senjang resesi
di mana output
aktual lebih kecil dari
keluaran potensial. Kelompok
penganggur ini juga
dikatakan sebagai orang yang
menganggur dengan terpaksa, dengan kata lain mereka ingin bekerja dengan tingkat
upah yang berlaku
tetapi pekerjaan yang
mereka inginkan tidak tersedia. Pengangguran struktural mengacu pada pengangguran
yang disebabkan akibat
ketidaksesuaian antar struktur
angkatan kerja berdasarkan
jenis keterampilan,
pekerjaan, industri atau
lokasi geografis dan
strutur permintaan tenaga kerja.
Mankiw (2000) menyatakan bahwa
pengangguran struktural merupakan pengangguran
yang disebabkan oleh
kekakuan upah dan
penjatahan pekerjaan. Para pekerja
yang tidak dipekerjakan
bukan karena mereka
aktif untuk mencari pekerjaan yang
cocok untuk mereka,
namun pada tingkat
upah yang berlaku, penawaran tenaga
kerja melebihi permintaannya. Sedangkan
pengangguran friksional
diakibatkan oleh perputaran
normal tenaga kerja.
Sumber penting pengangguran
friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari
pekerjaan (Lipsey, et al., 1997).
Mankiw (2000)
menyatakan bahwa pengangguran
akan selalu muncul dalam suatu perekonomian karena
beberapa alasan. Alasan pertama adalah adanya proses pencarian
kerja, yaitu dibutuhkannya
waktu untuk mencocokkan
para pekerja dan pekerjaan.
Alasan kedua adalah
adanya kekakuan upah.
Kekakuan upah ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya kebijakan
upah minimum, daya tawar kolektif dari serikat pekerja, dan upah efisiensi.
2.1.3 KURVA PHILLIPS
Pada tahun 1958,
ekonom A.W. Phillips
menerbitkan sebuah artikel berjudul “The
Relationship between Unemployment
and the Rate
of Change of Money
Wages in United
Kingdom, 1861-1957”. Pada
artikel tersebut Phillips memperlihatkan korelasi negatif
antara tingkat pengangguran dan inflasi (tingkat perubahan upah).
Phillips memperlihatkan bahwa
tahun-tahun dengan tingkat pengangguran yang rendah cenderung
disertai oleh inflasi yang tinggi, dan tahun-tahun dengan tingkat pengangguran
tinggi cenderung disertai dengan inflasi yang rendah (Samuelson, 1985)
A.W. Phillips
(1958) dalam Mankiw
(2000) menggambarkan bagaimana sebaran hubungan
antara inflasi dengan
tingkat pengangguran didasarkan
pada asumsi bahwa inflasi
merupakan cerminan dari
adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan
naiknya permintaan agregat,
maka sesuai dengan
teori permintaan yaitu jika permintaan naik maka harga akan naik.
Dengan tingginya
harga (inflasi) maka
untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan
kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga
kerja merupakan satu-satunya
input yang dapat
meningkatkan output). Akibat dari
peningkatan permintaan tenaga
kerja maka dengan
naiknya harga-harga (inflasi) maka pengangguran berkurang.
Gambar 2.3 Kurva Phillips
Tiga komponen pembentuk Kurva Phillips adalah :
a.
Ekspektasi Inflasi (π2)
b.
Pengangguran siklis (U-Un)
c.
Guncangan penawaran (v)
Persamaan kurva Phillips adalah :
π = πe – β (U-Un) + v …………………………………………………………….
Di mana π adalah
inflasi, πe adalah
ekspektasi inflasi, U
adalah tingkat pengangguran dan Un
adalah tingkat pengangguran
alamiah (NAIRU – Non Accelerating Inflation
Rate of Unemployment). β menunjukkan besarnya
respon tingkat inflasi terhadap
perubahan tingkat pengangguran
siklis. β dapat menunjukkan
besarnya rasio pengorbanan
(sacrifice ratio)
yang terjadi. Tanda negatif sebelum parameter β menunjukkan hubungan negatif antara inflasi
dengan tingkat pengangguran.
2.2 PENELITIAN TERDAHULU
Bhanthumnavin
(2002) menganalisis kurva Phillips untuk
negara Thailand dengan metode OLS
menggunakan dua definisi
inflasi (kuartalan dan
tahunan). Estimasinya menyatakan bahwa
teori Kurva Phillips
di Thailand baru
berlaku setelah Krisis Asia
tahun 1997. Dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa sebelum terjadinya krisis ekonomi 1997
tidak terdapat hubungan antara inflasi dan pengangguran seperti
yang diungkapkan dalam
Kurva Phillips. Hubungan
ini negative antara inflasi dan pengangguran ini baru tejadi setelah
terjadinya krisis ekonomi 1997 yang
telah memberikan guncangan
struktural yang kuat
terhadap kapasitas perekonomian dan sektor finansial.
Amir (2003)
menganalisis pengaruh inflasi
dan pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di Indonesia
pada periode 1980-2005 dengan mengunakan analisis grafis
dan metode ANOVA.
Variabel dependennya adalah
tingkat pengangguran dan variabel
independennya adalah inflasi.
Hasilnya adalah terdapat
hubungan negatif namun tidak signifikan antara inflasi dan pertumbuhan
ekonomi terhadap pengangguran
baik secara statistik
maupun grafis. Hal
ini diduga karena inflasi
di Indonesia lebih
cenderung disebabkan oleh
adanya kenaikan biaya produksi, seperti misalnya kenaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM), bukan karena kenaikan permintaan.
Model yang
digunakan Simamare (2006)
kemudian digunakan untuk mengestimasi hubungan inflasi dan pengangguran di Indonesia dengan mengganti variabel pertumbuhan
ekonomi dengan inflasi,
mengubah jumlah pengangguran sebagai persentase,
serta mengubah jumlah
angkatan kerja sebagai
bentuk logaritma naturalnya. Selain itu, penulis juga menggunakan
analisis uji kausalitas Granger untuk melihat hubungan kausalitas antara
inflasi dan pengangguran.
BAB III
PEMBAHASAN
Data yang peneliti gunakan untuk mendeteksi keberadaan
kurva phillips adalah data pengangguran, inflasi dan IHK tahun 1980 hingga
tahun 2012. Pertama, kami menggunakan program Key Indicators of Labour Market 7th Edition dari ILO untuk
mendapatkan data pengangguran terbuka per tahun. Kedua, kami menggunakan data SDSS Bank
Indonesia untuk mendapatkan data inflasi pertahun. Ketiga, kami mengambil data
IHK per Desember dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Ketiga variabel tersebut
kami olah menggunakan Microsoft Excel dan Stata 12 Student Edition.
3.1 Gambaran Pengangguran di Indonesia
Negara
berkembang seperti Indonesia
selalu dihadapkan oleh
masalah besarnya jumlah penduduk,
terutama penduduk berusia
muda. Hal ini
menjadi salah satu faktor
utama besarnya jumlah
angkatan kerja di
Indonesia. Jumlah angkatan kerja
(labor force) di Indonesia setiap tahun bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk. Dumairy (1996)
mengungkapkan bahwa pertumbuhan angkatan
kerja yang cepat
akan membawa beban
bagi perekonomian, yakni penciptaan
lapangan kerja. Jika
lapangan pekerjaan baru tidak dapat menampung angkatan kerja
baru, maka sebagian angkatan baru yang tidak tertampung tersebut menjadi
pengangguran baru.
Jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2008 mencapai 9.3 juta jiwa
dari 112 juta jiwa angkatan kerja atau sekitar 8.3 persen dari total angkatan
kerja (ILO, 2009). Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 118,0 juta orang, dengan tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di
Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 6,14 persen, mengalami penurunan dibanding
TPT 2011 sebesar 6,56 persen.
Tingkat pengangguran Indonesia
rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3.32 persen,
kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2007 tingkat
pengangguran naik menjadi 8,02 persen . Dengan demikian,
antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat
pengangguran lebih dari
dua kali lipatnya.
Selain itu, tingkat pengangguran di Indonesia juga
memiliki tren yang meningkat.
Pengangguran dan
Rata-Rata Tingkat Pengangguran Periode Sebelum dan Sesudah Krisis
Tahun
|
IHK
(2002=100)
|
Inflasi
|
Pengangguran
|
Periode
|
Rata-rata Tingkat Pengangguran
|
1980
|
11.52
|
15.97
|
1.66
|
Sebelum
Krisis 1998
|
3.12
|
1981
|
12.34
|
7.09
|
2.70
|
||
1982
|
13.54
|
9.69
|
3.01
|
||
1983
|
15.09
|
11.46
|
2.00
|
||
1984
|
16.41
|
8.76
|
2.00
|
||
1985
|
17.12
|
4.31
|
2.14
|
||
1986
|
18.63
|
8.83
|
2.60
|
||
1987
|
20.29
|
8.90
|
2.55
|
||
1988
|
21.40
|
5.47
|
2.81
|
||
1989
|
22.67
|
5.97
|
2.87
|
||
1990
|
24.03
|
5.97
|
2.51
|
||
1991
|
26.32
|
9.52
|
2.59
|
||
1992
|
27.62
|
4.94
|
2.71
|
||
1993
|
30.31
|
9.77
|
2.80
|
||
1994
|
33.11
|
9.24
|
4.40
|
||
1995
|
35.98
|
8.64
|
7.24
|
||
1996
|
38.30
|
6.47
|
4.89
|
||
1997
|
42.54
|
11.05
|
4.68
|
||
1998
|
75.56
|
77.63
|
5.46
|
Paska Krisis
1998
|
8.02
|
1999
|
77.08
|
2.01
|
6.36
|
||
2000
|
84.42
|
9.53
|
6.08
|
||
2001
|
95.02
|
12.55
|
8.10
|
||
2002
|
104.55
|
10.03
|
9.06
|
||
2003
|
109.84
|
5.06
|
9.50
|
||
2004
|
116.86
|
6.40
|
9.86
|
||
2005
|
136.86
|
17.11
|
10.26
|
||
2006
|
145.89
|
6.60
|
10.40
|
||
2007
|
155.50
|
6.59
|
9.11
|
||
2008
|
173.54
|
11.60
|
8.39
|
||
2009
|
178.36
|
2.78
|
7.87
|
||
2010
|
190.78
|
6.96
|
7.14
|
||
2011
|
198.01
|
3.79
|
6.56
|
||
2012
|
206.52
|
4.30
|
6.14
|
Pengangguran di
Indonesia menjadi masalah
yang terus menerus membesar. Sebelum
krisis ekonomi tahun
1997, tingkat pengangguran
di Indonesia pada umumnya
di bawah 5
persen dan pada
tahun 1997 sebesar
5.7 persen. Tingkat pengangguran sebesar
5.7 persen masih merupakan pengangguran alamiah. Amir
(2006) menyatakan bahwa
tingkat pengangguran alamiah
adalah suatu tingkat pengangguran yang alamiah dan tak mungkin
dihilangkan. Tingkat pengangguran
alamiah ini sekitar
5 hingga 6
persen atau kurang.
Artinya jika tingkat pengangguran
paling tinggi 5
persen itu berarti
bahwa perekonomiandalam kondisi
penggunaan tenaga kerja penuh (full employment).
Berdasarkan data ILO
(KILM 7th Edition), sejak tahun 1980 hingga 2000 angkatan kerja
Indonesia sebagian besar masih
didominasi oleh pekerja
di sektor pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan
yaitu sekitar lebih
dari 40 persen
dari jumlah pekerja
keseluruhan. Sektor kedua
yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah perdagangan, restoran
dan hotel yaitu
sekitar 37
persen di tahun 2000. Secara
keseluruhan sektor agriculture terus menurun dan menjadi sektor lapangan kerja
terbesar kedua di tahun 2010 sebesar 38 persen. Sektor perdagangan, restoran dan hotel di tahun 2010 menjadi
sektor yang mendominasi lapangan pekerjaan dengan persentase 42,3 persen. Sedangkan, industri
manufaktur yang diharapkan dapat
menyerap banyak tenaga
kerja justru hanya
menyerap tenaga kerja
sekitar 11 sampai 19
persen.
Gambar 3.1.
Pekerja Berdasarkan Sektor dalam
Persen (1980-2010)
Sumber
: ILO (diolah penulis)
Selain
itu, Rahman (2008) menyatakan bahwa
karakteristik pengangguran di Indonesia di antaranya adalah:
a)
Tingkat pengangguran berpendidikan rendah lebih tinggi
b)
Tingkat pengangguran laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan.
c)
Tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi
Peningkatan angkatan
kerja baru yang
lebih besar dibandingkan
dengan lapangan kerja yang
tersedia terus menunjukkan
jurang (gap) yang
terus membesar. Kondisi tersebut
semakin membesar setelah
krisis ekonomi. Dengan
adanya krisis
ekonomi terutama krisis
global baru-baru ini
tidak saja membuat jurang antara peningkatan angkatan
kerja baru dengan penyediaan lapangan
kerja yang rendah terus
makin dalam, tetapi
juga merangsang tingginya
pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga tingkat pengangguran di
Indonesia dari tahun ke tahun terus semakin tinggi.
3.2. Gambaran Inflasi di Indonesia
Perkembangan inflasi
di Indonesia menunjukkan
fluktusi yang bervariasi
dari waktu ke
waktu. Inflasi mulai
menjadi perhatian ketika
adanya krisis pada tahun
1960-an dimana Indonesia
mengalami hiperinflasi sebesar
650 persen sehingga perekonomian
terguncang dengan hebat,
tetapi tekanan tersebut
dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan anti-inflasi, sehingga pada
Repelita II, III, dan IV inflasi menurun menjadi sebesar 14.77 persen, 13.6
persen dan 6.9 persen. Kemudian krisis kembali
menghantam negeri ini
pada tahun 1997-1998
yang berdampak pada semua
aspek kehidupan, salah
satunya adalah inflasi
yang mencapai 58.4 persen.
Inflasi kembali
mulai menjadi perhatian
sejak dikeluarkannya kebijakan UU
No. 23/1999 yang
sebenarnya dapat mengkategorikan Indonesia
sebagai "Inflation Targeting Lite Countries". Sejak awal ditetapkannya pada tahun 2005 sebesar
6 persen dengan deviasi 1 persen, inflation targeting baru dapat berjalan secara efektif pada kuartal
IV tahun 2006, yaitu sebesar 5,5 persen dengan deviasi sebesar 1 persen.
Gambar 3.2. Perkembangan Inflasi (1980-2012)
Sumber: ILO dan Bank Indonesia (diolah penulis)
Pemerintah berkoordinasi
dengan BI telah
menetapkan dan mengumumkan sasaran
inflasi IHK untuk tahun 2006,
2007, dan 2008 masing-masing sebesar 8 persen, 6
persen, dan 5 persen dengan standar deviasi masing-masing adalah
1 persen. Penetapan
lintasan sasaran inflasi
ini sejalan dengan keinginan untuk
mencapai sasaran inflasi
jangka menengah panjang
sebesar 3 persen agar Indonesia
mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya.
Pemerintah dan Bank
Indonesia telah sepakat menetapkan sasaran inflasi 2008-2010 sebesar 5 persen
untuk 2008; 4.5 persen (2009); dan 4
persen (2010)
dengan deviasi 1
persen. Target inflasi
2008 yakni 5
persen dengan deviasi
1 persen tersebut sesuai dengan target APBN 2008 yakni 6 persen.
Rata-rata tingkat
inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985 hingga tahun 1996
relatif rendah
yaitu masih berkisar satu digit sebesar 7.9 persen per tahun. Namun,
ketika terjadi
krisis, tahun 1998
tingkat inflasi mencapai
58.3 persen dan
setelah tahun 1998 tingkat inflasi mencapai dua digit
sekitar 10 persen.
Pada tahun 2008 terdapat
beberapa resiko yang dapat memberikan tekanan pada inflasi sehingga berpotensi
mengganggu pencapaian sasaran inflasi tersebut. Risiko tersebut
di antaranya adalah
(i) proses konsolidasi
pasar finansial global terkait dampak
krisis subprime mortgage
masih belum reda,
(ii) resiko terkait kenaikan harga
minyak dunia di
awal tahun 2008,
(iii) potensi peningkatan permintaan konsumsi minyak
domestik di atas asumsi terutama yang dipicu oleh tingginya disparitas
harga BBM bersubsidi
dengan BBM nonsubsidi
maupun harga BBM di negara tetangga, (iv) kemampuan produksi minyak
domestik yang tidak sesuai target
dan (v) persepsi
pelaku ekonomi terhadap
prospek kesinambungan fiskal dan
prospek perekonomian secara
keseluruhan terkait dampak
kenaikan harga minyak dunia.
3.3. Hubungan Inflasi dan Pengangguran
Untuk
mencapai tujuan penelitian, maka urutan langkah analisisnya sebagai berikut:
1.
Uji unit root masing-masing data variable untuk
mengetahui stasioneritas. Jika series data
pada level mempunyai unit root (non stasioner), maka lakukan pengujian
data pada level first difference.
2.
Periksa kriteria untuk kointegrasi (prosedur Engel Granger), jika
memenuhi kriteria maka lakukan pengujian
kointegrasi. Jika tidak memenuhi syarat pengujian kointegrasi, maka dapat
disimpulkan tidak terjadi kointegrasi antar variable tersebut.
3.
Periksa kriteria untuk uji Dynamic Engel Granger
(ECMs), jika tidak memenuhi syarat untuk uji engel granger maka tidak ada
hubungan causalitas jangka pendek dan keseimbangan dalam jangka panjang. Jika
terdapat hubungan kointegrasi antar variabel dalam model maka dapat dilakukan
uji engel granger. Dengan model Dynamic Engel Granger dapat diketahui hubungan
jangka pendek dan jangka panjang variabel inflasi dan pengangguran.
3.3.1. Uji stasioneritas
Sebelum
menggunakan data time series, peneliti perlu menguji stasioneritas untuk
masing-masing variabel. Menurut Gujarati
(Dasar-dasar Ekonometrika:2003) , data time series yang tidak
stasioner tidak dapat diterapkan dengan Ordinary Least Square, karena
menghasilkan regresi lancung(palsu). Uji stasionaritas pertama kali dilakukan
terhadap data awal (data tingkat level). Jika data awal bersifat stasioner
dituliskan dengan I(0), tetapi jika tidak stasioner, dilakukan uji
stasionaritas dengan menggunakan data difference tingkat pertama. Pada umumnya,
data yangtidak stasioner pada data level, akan stasioner pada data difference
tingkat pertama, yang ditulis dengan notasi I(1).
Metode yang
digunakan untuk menguji stasioneritas tiap variabel adalah uji unit root, atau
sering dikenal dengan uji augmented Dickey-Fuller(DF). Dalam program stata
peneliti menggunakan perintah DF-GLS, sehingga dapat diketahui lag optimal dan
tingkat stasioneritas.
Berdasarkan uji unit root tingkat level, hanya variabel
inflasi(tabel 1.1) yang stasioner sedangkan variabel pengangguran dan IHK tidak
stasioner. Hasil ini menunjukkan variabel inflasi dan pengangguran tidak
stasioner di order yang sama, sehingga tidak dapat digunakan untuk analisis OLS
maupun error correction model. Apabila dipaksakan, regresi OLS variabel inflasi
dan pengangguran akan menghasilkan regresi yang lancung (palsu).
Variabel pengangguran dan IHK tidak stasioner di
tingkat level, sehingga dilanjutkan uji unit root tingkat first difference.
Hasil di Tabel 2.1 dan 2.2 menunjukkan bahwa variabel pengangguran dan IHK
stasioner di tingkat first difference dan signifikan dengan lag sebesar satu.
Dari hasil uji unit root, peneliti menggunakan pendekatan
IHK sebagai attribut inflasi untuk dapat menganalisa hubungan inflasi dan
tingkat pengangguran. Konsep ini dapat digunakan karena order pertama dari IHK
adalah inflasi.
3.3.2.
Uji Stasioneritas
Error Term dan Kointegrasi
Jika series data dari
variabel-variabel yang diteliti memiliki unit roots pada data level, maka perlu
dilakukan uji kointegrasi, untuk mengetahui apakah variabel-variabel tersebut
saling terintegrasi dalam suatu hubungan. Dengan kata lain, uji kointegrasi
dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka panjang antara dua
variabel atau lebih. Jika di antara
variabel-variabel terkait terdapat
kointegrasi, berarti terdapat hubungan jangka panjang di antara
variabel-variabel tersebut. Jika variabel X dan variabel Y terintegrasi, maka
hasil regresi antara variabel X dan Y akan menghasilkan residual yang
stasioner. Adapun dua series yang terintegrasi akan memiliki hubungan jangka
panjang yang stabil. Menurut Gujarati (2003), pengujian ini hanya valid jika
dilakukan pada data asli yang nonstasioner.
Enders (2004) memberikan catatan
penting tentang definisi kointegrasi sebagai berikut:
1.
Kointegrasi merupakan kombinasi linear dari
variabel-variabel yang seriesnya non- stasioner.
2.
Semua variabel yang diuji harus terintegrasi
(stasioner) pada order yang sama (first difference).
Dengan hasil ADF untuk ECTI dan ECTU:
Untuk menunjukkan bahwa variabel pengangguran
terkointegrasi dengan variabel tingkat inflasi, pertama yang perlu dilakukan
adalah uji stasionaritas terhadap variable error term. Hasilnya menunjukkan
bahwa error term untuk model 1 stasioner di tingkat alpha sepuluh persen,
sehingga dapat dilakukan uji kointegrasi. Error term untuk model 2 tidak
stasioner di tingkat alpha sepuluh persen, sehingga tidak dapat dilakukan uji
kointegrasi. Hal ini juga menunjukkan bahwa variabel inflasi tidak mempengaruhi
pengangguran baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dari hasil uji augmented dickey
fuller di atas, selanjutnya dapat dilakukan uji kointegrasi untuk model 1. Model untuk uji kointegrasi adalah sebagai
berikut:
dengan hipotesis null tidak ada
kointegrasi dalam model pengangguran mempengaruhi inflasi. Berdasarkan hasil
regresi (Hasil spesifik: tabel 5.1) variabel inflasi tahun t-1 terkointegrasi dengan
variabel pengangguran bahkan di tingkat signifikansi satu persen. Hasil ini
sekaligus menunjukkan dapat dilakukan uji kausalitas Dynamic Engel Granger
untuk mengetahui hubungan jangka pendek dan jangka panjang.
Granger Causality in Short Run
Hipotesa untuk
uji kausalitas dalam jangka pendek adalah sebagai berikut:
Ho : Un (pengangguran) does not granger cause
lnihk (inflasi) (Ho : γ2 = 0)
H1 : Un (pengangguran) granger cause lnihk
(inflasi) (Ho : γ2 ≠ 0)
diperoleh nilai F
statistic sebesar = 0.03471, dengan probability = 0.85365. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa Ho diterima, yang berarti pengangguran bukanlah variabel yang
menyebabkan terjadinya inflasi dalam jangka pendek. Hasil tersebut menunjukkan
shock di pengangguran tidak langsung mempengaruhi inflasi pada saat itu juga,
namun memerlukan waktu(lag) untuk direspon oleh pasar barang dan jasa.
Granger Causality in Long Run
Hipotesa untuk
uji kausalitas dalam jangka panjang adalah sebagai berikut:
Ho : Un (pengangguran) does not granger cause
lnihk (inflasi) in long run (Ho : γ3 = 0)
H1 : Un (pengangguran) granger cause lnihk
(inflasi) in long ran (Ho : γ3 ≠ 0)
diperoleh nilai F
statistic sebesar = 4,21, dengan probability = 0,0500. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa Ho diterima, ada hubungan jangka panjang (keseimbangan jangka
panjang) antara variabel pengangguran dan inflasi.
3.3.4.
Intepretasi Hasil Regresi
Dari hasil persamaan regresi tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya tingkat inflasi pada tahun t
adalah angka pengangguran pada tahun t-1
dan signifikan secara stastistik pada tingkat alpha 1 persen, dengan nilai R square = 0,9836, yang berarti
pengangguran pada tahun t-1 mempunyai
kontribusi terhadap besar kecilnya tingkat inflasi pada tahun t sebesar 98,36 persen, sedangkan
sisanya (1,64 persen) dipengaruhi oleh faktor lainnya. Tanda koefisien regresi
dari variabel pengangguran yang positif juga sekaligus menunjukkan bahwa teori
kurva Phillips yang menyebutkan adanya hubungan negatif (trade off) antara
inflasi dengan tingkat pengangguran, ternyata tidak terbukti dengan menggunakan
data Indonesia tahun 1980-2012.
Dari hasil uji ECM aritara variabel inflasi dengan variabel tingkat pengangguran(tabel 6.1), diperoleh model persamaan
sebagai berikut:
Error correction mechanism dalam
jangka panjang antara variabel inflasi dengan variabel tingkat pengangguran
adalah 29 persen. Yang berarti setiap ada shock atau disequilibrium pada masa
lalu (tahun t-1), dalam jangka pendek akan memperkecil pertambahan tingkat
inflasi pada tahun t sebesar 35 persen, dan seterusnya sedemikian rupa sehingga
akhimya pengangguran dan inflasi dalam jangka panjang akan mencapai
keseimbangan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN
SARAN
Kesimpulan:
1.
Teori Kurva Phillips yaitu trade off antara
pengangguran dan inflasi tidak terjadi di Indonesia dari tahun 1980-2012.
2.
Pengangguran bukanlah variabel yang menyebabkan
terjadinya inflasi dalam jangka pendek. Hasil tersebut menunjukkan shock di
pengangguran tidak langsung mempengaruhi inflasi pada saat itu juga, namun
memerlukan waktu(lag) untuk direspon oleh pasar barang dan jasa.
3.
Ada hubungan jangka panjang yaitu equilibrium antara
variabel pengangguran dan inflasi.
4. Error correction mechanism dalam
jangka panjang antara variabel inflasi dengan variabel tingkat pengangguran
adalah 29 persen. Yang berarti setiap ada shock atau disequilibrium pada masa
lalu (tahun t-1), dalam jangka pendek akan memperkecil pertambahan tingkat
inflasi pada tahun t sebesar 35 persen, dan seterusnya sedemikian rupa sehingga
akhimya pengangguran dan inflasi dalam jangka panjang akan mencapai
keseimbangan.
Adapun
saran yang bisa disampaikan adalah:
1. Pemerintah sebaiknya
mengefektifkan kembali kebijakan
yang bertujuan untuk mengurangi
laju pertumbuhan penduduk
sehingga dapat menurunkan laju
pertumbuhan angkatan kerja yang ternyata
berpengaruh signifikan secara statistik
terhadap tingkat pengangguran.
Misalkan, Keluarga Berencana (KB).
2. Pemerintah
sebaiknya menetapkan kebijakan
makro dan mikro
yang terpadu. Misalnya, menstimulus
pembangunan sektor-sektor potensial yang dapat menyerap angkatan kerja
dengan cepat seperti sektor pertanian, kehutanan, peternakan,
dan perikanan. Selain
itu, sektor ekonomi
kreatif juga dapat dijadikan alternatif potensial dalam penyerapan
tenaga kerja.
3. Pembangunan
infrastruktur guna meningkatkan
penyerapan tenaga kerja terutama dengan pola padat karya serta
pemanfaatan produk dalam negeri.
4. Sebaiknya tidak
hanya angka pengangguran
yang digunakan sebagai indikator untuk
melihat dinamika pasar
tenaga kerja di
negara sedang berkembang
(termasuk Indonesia) di mana peranan
sektor informal sangat besar, khususnya jika dikaitkan dengan krisis ekonomi.
5. Untuk
penelitian selanjutnya, sebaiknya
memperhitungkan penentuan
tingkat pengangguran alamiah
dan ekspektasi rasional
dalam mencari hubungan antara
inflasi dan pengangguran di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Irdam.
2007. Hubungan Antara Inflasi Dengan Tingkat Pengangguran; Pengujian Kurva Philips Dengan Data Indonesia, 1976 – 2006. Jurnal Ekubank, Vol.1 Edisi Maret 2007.
Gujarati,
Damodar N, Dawn C. Porter. 2012. Basic Econometrics, 5th ed. McGraw-Hili
International Editions. Singapore.
Gali, Jordi and
Lopez-Salido, J.D. 2000. A New Phillips Curve for Spain, BIS Paper No. 3.
Mulyati, Sri. 2009. Analisis Hubungan
Inflasi Dan Pengangguran Di Indonesia Periode 1985 – 2008: Pendekatan Kurva Philips [skripsi].
Bogor: IPB.
Solikin. 2003. Kurva
Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia : Keberadaan, Pola Pembentukan
Ekspektasi, dan Linieritas. Program Kerja Strategis Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan (PPSK) – Bank Indonesia.
Sinuhaji,
Jonathan. 2006. Analisis Hubungan Tingkat Inflasi Dengan Pengangguran Di Indonesia[tesis]. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Dear Hazin
BalasHapusData inflasi ini apakah akurat ?
dapat data darimana ?
kok pinter banget si
BalasHapus