iklan

Selasa, 15 April 2014

Hubungan tingkat Inflasi dan pengangguran di Indonesia dari tahun 1980-2012

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar belakang
Semua Negara di dunia ini selalu dan pasti menghadapi masalah pengangguran dan inflasi.   Kondisi yang full employment merupakan kondisi ideal yang dinginkan oleh semua negara,  tapi  kondisi  tersebut  terlalu  banyak  rintangan  untuk  mencapainya.  Untuk mewujudkan  kondisi  ideal  untuk  perekonomian  Pemerintah  Indonesia  menggunakan kebijakan  fiskal  dan  moneter.  Pemerintah  di  satu  sisi  menginginkan  agar  tingkat pengangguran rendah tetapi tidak juga membuat tingkat inflasi bertambah tinggi.
Inflasi (inflation) adalah gejala yang menunjukkan kenaikan tingkat harga umum yang berlangsung terus menerus. Dari pengertian tersebut maka apabila terjadi kenaikan harga hanya bersifat sementara, maka kenaikan harga yang sementara sifatnya tersebut tidak dapat dikatakan inflasi. Semua negara di dunia selalu menghadapi permasalahan inflasi ini. Oleh karena itu, tingkat inflasi yang terjadi dalam suatu negara merupakan salah satu ukuran untuk mengukur baik buruknya masalah ekonomi yang dihadapi suatu negara. Bagi negara yang perekono-miannya baik, tingkat inflasi yang terjadi berkisar antara 2 sampai 4 persen per tahun. Tingkat inflasi yang berkisar antara 2 sampai 4 persen dikatakan tingkat inflasi yang rendah.  Selanjut tingkat inflasi yang berkisar antara 7 sampai 10 persen dikatakan inflasi yang tinggi. Namun demikian ada negara yang meng-hadapai tingkat inflasi yang lebih serius atau sangat tinggi, misalnya Indonesia pada tahun 1966 dengan tingkat inflasi 650 persen. Inflasi yang sangat tinggi tersebut disebut hiper inflasi (hyper inflation).
Ketika  krisis  global  yang  melanda  sejak  awal  2008,  negara  adidaya  seperti Amerika  Serikat  menghadapi  kesulitan  dalam  mengatasi  pengangguran  akibat resesi  ekonomi  terutama  dari  sektor-sektor  industri  utama. Menurut  data  yang diperoleh  dari  Bureau  of  Labor  Statistics  USA  (2009),  hingga    Juli  2009 pengangguran  di Amerika  Serikat  telah mencapai  14.5  juta  jiwa  dengan  tingkat pengangguran sebesar 9.4 persen dan diduga akan terus meningkat. Pada  saat  terjadi  depresi  ekonomi  Amerika  Serikat  tahun  1929,  terjadi  inflasi  yang  tinggi  dan  diikuti  dengan  pengangguran  yang  tinggi  pula. Berdasarkan pada  fakta  itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara  tingkat inflasi  dan  tingkat  pengangguran  di  Inggris. Dari  hasil  pengamatannya,  ternyata ada  hubungan  yang  erat  antara  inflasi  dengan  tingkat  pengangguran,  dalam  arti jika inflasi tinggi, maka pengangguran akan rendah. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan Kurva Phillips.
Penerapan teori kurva Phillips di Indonesia diharapkan dapat memberikan penjelasan   mengenai  hubungan  inflasi  dan  tingkat  pengangguran  di   Indonesia.  Hal  ini  diperlukan  karena  adanya  hubungan  yang  terjadi  antara  inflasi  dan pengangguran dapat berimplikasi  terhadap kebijakan  yang dapat dijalankan baik oleh otoritas fiskal maupun moneter. Penerapan inflation  targeting dengan tujuan pencapaian tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada  kebijakan  RAPBN  2009  yang  salah  satu  tujuannya  adalah  mengurangi tingkat  pengangguran.  Jika  hubungan  negatif  antara  inflasi  dan  pengangguran yang dinyatakan dalam kurva Phillips memang terjadi, adanya hubungan negative tersebut dapat menjadikan kedua kebijakan di atas tidak efektif, sehingga dampak kebijakan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Pertumbuhan tenaga kerja baru yang lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja menimbulkan pengangguran yang tinggi. Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam jangka pendek yang selalu dihadapi setiap negara. Karena itu, setiap perekonomian dan negara pasti menghadapi masalah pengangguran, yaitu pengangguran alamiah (natural rate of unemployment).
Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata  sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3,3 persen, kemudian  selama pasca krisis periode  tahun 1997-2008  tingkat  pengangguran  naik  menjadi  8,09  persen.  Dengan  demikian, antara periode  sebelum dan  sesudah krisis 1997  telah  terjadi perubahan  rata-rata tingkat  pengangguran  lebih  dari  dua  kali  lipatnya.  Rata-rata  tingkat  inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985-1996 relatif rendah yaitu masih berkisar satu digit  sebesar 7,9 persen per  tahun. Namun, ketika  terjadi krisis,  tahun 1998 tingkat  inflasi  mencapai  58,3  persen  dan  setelah  tahun  1998  tingkat  inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen.
A.W. Phillips menggambarkan bagaimana sebaran hubungan antara inflasi dengan tingkat pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, maka sesuai dengan teori permintaan, jika permintaan naik maka harga akan naik. Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga  kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja maka dengan naiknya harga-harga (inflasi) maka, pengangguran berkurang.
Dalam  teori  kurva  Phillips,  inflasi  yang  rendah  ternyata  berkontribusi terhadap  tingkat  pengangguran  yang  tinggi,  dan  sebaliknya. Oleh  karena  itu berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini  bermaksud untuk menganalisis hubungan antara inflasi  dengan  tingkat  pengangguran sesuai dengan  pendekatan  Kurva  Phillips sehingga dapat diperoleh mekanisme kerja kedua variabel tersebut.

1.2 Rumusan masalah
  1. Bagaimana kondisi tingkat inflasi dan pengangguran di indonesia dari tahun 1980 – 2012?
  2. Bagaimana kaitan antara inflasi dan pengangguran di Indonesia dari tahun 1980 – 2012?
1.3  Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui kondisi tingkat inflasi dan pengangguran di Indonesia dari tahun 1980-2012.
2.      Untuk mengetahui kaitan antara inflasi dan pengangguran di indonesia dari tahun 1980-2012.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LANDASAN TEORI
     2.1.1 INFLASI
                 2.1.1.1 Definisi Inflasi
   Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi (Bank Indonesia).
   Inflasi  merupakan  kecenderungan  meningkatnya  tingkat  harga  secara  umum  dan  terus-menerus. Kenaikan  harga  dari  satu  atau  dua  barang  saja  tidak  disebut  sebagai  inflasi,  kecuali  bila  kenaikan  tersebut  meluas  kepada  (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar harga barang-barang lain. Menurut teori uang klasik, perubahan dalam tingkat harga keseluruhan adalah seperti perubahan dalam unit-unit ukuran. Karena sesungguhnya kesejahteraan ekonomi masyarakat bergantung pada harga relatif, bukan pada seluruh tingkat harga (Mankiw, 2007).
   Definisi  lain  dari  inflasi  adalah  kenaikan  rata-rata  semua  tingkat  harga semua barang dan jasa dimana kenaikan harga-harga tersebut berlangsung dalam waktu yang berkepanjangan dan secara terus-menerus. Menurut Milton Friedman, inflasi  merupakan  sebuah  fenomena  moneter  yang  selalu  terjadi  dimanapun  dan tidak  dapat  dihindari.  Inflasi  dikatakan  sebagai  fenomena  moneter  hanya  jika terjadi  peningkatan  harga  yang  berlangsung  secara  cepat  dan  terus-menerus. pendapat ini disetujui oleh banyak ekonom dari aliran monetaris (Mishkin, 2004).
   Kenaikan  harga  secara  terus-menerus  yang  menyebabkan  inflasi  dapat disebabkan  oleh  naiknya  nilai  tukar  mata  uang  luar  negeri  secara  signifikan terhadap  mata  uang  dalam  negeri.  Inflasi  menurut  teori  Keynes  terjadi  karena masyarakat  hidup  diluar  batas  kemampuan  ekonominya.  Teori  ini  menyoroti bagaimana  perebutan  sumber  ekonomi  antar  golongan  masyarakat  bisa menimbulkan permintaan agregat yang  lebih  besar daripada  jumlah  barang  yang tersedia.  Dalam  teori  strukturalis  inflasi  berasal  dari  kekakuan  struktur  ekonomi khususnya supply bahan bakar minyak, dan bahan makanan yang mengakibatkan kenaikan harga pada barang lain.
   Lebih  lanjut Samuelson (1989),  menambahkan ada pendekatan  lain  yang dapat  menjadi  pendekatan  lain  dalam  mengukur  tingkat  inflasi  selain  Indeks Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen yakni GNP Deflator. GNP Deflator merupakan rasio GNP nominal dan  GNP rill. GNP  yang  merupakan pendapatan nasional  ini  tersusun  dari  konsumsi,  investasi,  pengeluaran  pemerintah,  dan  net ekspor suatu negara.
   Seringkali  timbul  kesalahpahaman  mengenai  konsep  inflasi  di  tengah masyarakat.  Kesalapahaman  yang  ada  dimasyarakat  seperti  anggapan  tingkat inflasi  membuat  harga  barang  semakin  mahal,  dan  inflasi  yang  tinggi  sebagai pertanda  bahwa  masyarakat  menjadi  semakin  miskin.  Samuelson  (1989) menjelaskan  bahwa  sesungguhnya  inflasi  berarti  rata-rata  tingkat  harga mengalami  peningkatan.  Inflasi  juga  tidak  selalu  membuat  masyarakat  menjadi miskin  apabila  diikuti  oleh  peningkatan  pendapatan  masyarakat  selama  masa terjadinya  inflasi.  Sehingga  pendapatan  rill  untuk  kebutuhan  hidup  sehari-hari mungkin saja meningkat atau menurun selama masa inflasi.
   Secara  umum  pendapat  ahli  ekonomi  menyimpulkan  bahwa  inflasi  yang menyebabkan turunnya daya beli dari nilai uang terhadap barang-barang dan jasa, besar kecilnya ditentukan oleh elastisitas permintaan dan penawaran akan barang dan  jasa.  Faktor  lain  yang  juga  turut  menentukan  fluktuasi  tingkat  harga  umum diantaranya  adalah  kebijakan  pemerintah  mengenai  tingkat  harga,  yaitu  dengan mengadakan  kontrol  harga,  pemberian  subsidi  kepada  konsumen  dan  lain sebagainya.
   Dari  definisi  yang  ada  tentang  inflasi  dapatlah  ditarik  tiga  pokok  yang terkandung di dalamnya (Gunawan, 1991), yaitu :
1.                  Adanya  kecenderungan  harga-harga  untuk  meningkat,  yang  berarti  mungkin saja  tingkat  harga  yang  terjadi  pada  waktu  tertentu  turun  atau  naik dibandingkan  dengan  sebelumnya,  tetapi  tetap  menunjukkan  kecenderungan yang meningkat.
2.                  Peningkatan  harga  tersebut  berlangsung  terus  menerus,  bukan  terjadi  pada suatu waktu saja.
3.                  Mencakup  tingkat  harga  umum  (general  level  of prices)  yang  berarti  tingkat harga yang meningkat itu bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja.
   Menurut  Samuelson  (1989)  tingkat  inflasi  dapat  yang  ditentukan  dengan menghitung  selisih  tingkat  harga  tahun  tertentu  dengan  tingkat  harga  tahun sebelumnya  dan  dibandingkan  tengan  tingkat  harga  tahun  ini  dan  dikalikan dengan seratus persen.
   Perhitungan inflasi dilakukan melalui dua pendekatan yakni Indeks Harga Konsumen  dan  Indeks  Harga  Produsen  (IHP).  Indeks  Harga  Konsumen  yang dikenal sebagai IHK atau CPI yang mengukur biaya dari pasar konsumsi barang dan  jasa.  Biasanya  inflasi  didasarkan  kepada  harga  bahan  pangan,  pakaian, perumahan, bahan bakar minyak, transportasi, fasilitas kesehatan, pendidikan dan komoditi  lainnya  yang  biasa  digunakan  dalam  kehidupan  sehari-hari  di masyarakat.  Sedangkan  Indeks  Harga  Produsen  atau  yang  biasa  dikenal  sebagai PPI  merupakan  pendekatan  yang  digunakan  dalam  mengukur  tingkat  inflasi berdasarkan  biaya  produksi  yang  dikeluarkan  oleh produsen. Indeks  ini  berguna karena  memberikan  penjelasan  yang  lebih  baik  bagi  dunia  usaha  (Samuelson, 1989).
   Menurut  Rahardja  dan  Manurung  (2004)  suatu  perekonomian  dikatakan telah  mengalami  inflasi  jika tiga karakteristik  berikut dipenuhi,  yaitu : 1) terjadi kenaikan  harga,  2)  kenaikan  harga  bersifat  umum,  dan  3)  berlangsung  terusmenerus. Ada beberapa indikator yang  dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu  perekonomian  sedang  dilanda  inflasi  atau  tidak.  Indikator  tersebut diantaranya :
1.                  Indeks Harga Konsumen (IHK)
   IHK adalah indeks harga yang paling umum dipakai sebagai indikator inflasi. IHK  mempresentasikan  harga  barang  dan  jasa  yang  dikonsumsi  oleh masyarakat dalam suatu periode tertentu.
2.                  Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
   IHPB  mertupakan  indikator  yang  menggambarkan  pergerakan  harga  dari komoditi-komoditi  yang  diperdagangkan  pada  tingkat  produsen  di  suatu daerah  pada  suatu  periode  tertentu.  Jika  pada  IHK  yang  diamati  adalah barang-barang  akhir  yang  dikonsumsi  masyarakat,  pada  IHPB  yang  diamati adalah  barang-barang  mentah  dan  barang-barang  setengah  jadi  yang merupakan input bagi produsen.
3.                  GDP Deflator
   Prinsip  dasar  GDP  deflator  adalah  membandingkan  antara  tingkat pertumbuhan ekonomi nominal dengan pertumbuhan riil.

2.1.1.2 Jenis Inflasi
Inflasi terbagi kedalam tiga jenis, yaitu :
1.                  Inflasi  menurut tingkat keparahannya,  yakni  : Inflasi ringan (dibawah 10 persen setahun), inflasi sedang (antara 10-30 persen setahun), inflasi berat (antara  30-100  persen  setahun),  hiperinflasi  (diatas  100  persen  setahun). Sedangkan  Samuelson  (1989)  mengklasifikasikan  inflasi  menurut  tingkat keparahannya menjadi tiga jenis inflasi, yaitu:
a)                  Moderate Inflation
   Jika inflasi ditandai dengan peningkatan harga secara perlahan. Relatif kecil  dengan  kenaikan  satu  digit  persen  tingkat  inflasi  per  tahun.  Ketika harga  relatif  stabil,  masyarakat  mempercai  nilai  uang  dan  mau menyimpannya karena tidak akan berkurang nilainya secara cepat. Inflasi jenis  ini  mendorong  masyarakat  untuk  melakukan  investasi  portofolio jangka panjang, karena percaya adanya peningkatan harga aset investasi di masa depan.

b)                  Galloping Inflation
   Jika  inflasi  ditandai  dengan  peningkatan  harga  dua  sampai  tiga  digit persen tingkat  inflasi per tahun.  Ketika  inflasi  meningkat  mengakibatkan distorsi dalam ekonomi. Secara umum investasi akan beralih ke mata uang asing, karena mata uang dalam negeri mengalami penurunan yang sangat cepat  dan  ditandai  dengan  tingkat  suku  bunga  yang  menyentuh  level minus. Namun dengan manajemen yang baik, inflasi jenis ini masih dapat dipulihkan seperti yang terjadi di Amerika Latin di tahun 1980an.

c)                  Hyperinflation
   Merupakan tipe  inflasi  yang terparah seperti  yang terjadi di  Jerman pada tahun  1920-1923  dan  yang  terjadi  di  Cina  dan  Hungaria  pasca  perang dunia kedua.  Tipe  inflasi  ini  juga  pernah  terjadi  di  Indonesia  pada  tahun  1963, sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk mendanai “proyek mercusuar”dengan mencetak uang secara terus-menerus. Hal ini yang menyebabkan nilai uang  menjadi  sangat  rendah.  Tingkat  inflasi  pada  masa  itu  mencapai  600 persen  sehingga  pada  tanggal  13  Desember  1965  pemerintah  melakukan pemotongan nilai Rupiah dari 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah.

2.                  Inflasi menurut penyebab terjadinya, yaitu :
a.       Cost-Push Inflation
         Inflasi  yang  terjadi  disertai  turunnya  tingkat  produksi.  Jadi  inflasi  jenis  ini diikuti  resesi  dalam  perekonomian.  Keadaan  ini  timbul  dimulai  dengan  adanya penurunan penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat dari kenaikan biaya produksi.



b.      Demand-Pull Inflation
   Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan  produksi  telah  dalam  keadaan  kesempatan  kerja  penuh  atau  hampir penuh.  Jika  kondisi  kesempatan  kerja  penuh  atau  full  employment sudah terjadi, kenaikan permintaan total hanya akan meningkatkan harga di pasar. Inflasi jenis ini disebut sebagai inflasi murni.


3.                  Inflasi menurut asalnya, yakni:
a.      Domestic Inflation, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri. Penyebab dari  inflasi  jenis  ini  misalnya dari defisit anggaran  belanja  yang dibiayai dengan  mengeluarkan  kebijakan  moneter  menambah  jumlah  uang  yang beredar  berupa pencetakan uang  baru, gagal panen dari  bahan  makannan pokok, dan sebagainya.
b.      Imported Inflation, yaitu inflasi yang berasal dari luar negeri. Mengingat Indonesia  merupakan  negara  dengan  ekomomi  terbuka kecil,  sehingga sangat  dipengaruhi  oleh  perekonomian  global  termasuk  tingkat  inflasi. Imported inflationjuga dapat disebabkan karena peningkatan dari harga di luar negeri yang dialami oleh mitra dagang Indonesia.

   Kenaikan  harga  barang-barang  impor  yang  masuk  ke  Indonesia  akan mengakibatkan  (1)  kenaikan  indeks  harga  konsumen  karena  sebagian  dari kebutuhan sehari-hari masyarakat berasal barang-barang impor tersebut, (2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga produsen karena beberapa input produksi berasal  dari  barang-barang  import,  (3)  secara  tidak  langsung  menimbulkan kenaikan  harga  di  dalam  negeri  karena  kenaikan  harga  barang-barang  impor mengakibatkan  penurunan  penerimaan  pemerintah  dari  tarif  impor  yang dibebankan pada produk impor yang permintaannya mengalami penurunan.

2.1.1.3 Dampak Inflasi
   Selama  periode  inflasi  terjadi,  tingkat  harga  dan  upah  tidak bergerak dalam  tingkatan  yang  sama,  maka  inflasi  akan  memberikan  dampak  redistribusi pendapatan  dan  kekayaan  diantara  golonag  ekonomi  dalam  masyarakat.  Serta menimbulkan  terjadinya  distorsi  dalam  harga  relatif,  output,  dan  kesempatan kerja, dan ekonomi secara keseluruhan (Samuelson,1989).
   Dampak  inflasi  terhadap  kegiatan  ekonomi  masyarakat  terbagi  menjadi dua  yakni  dampak  psitif  dan  dampak  negatif.  Dampak  positif  dari  inflasi menyebabkan  peredaran  dan  perputaran  barang  lebih  cepat  di  masyarakat sehingga  produksi  barang-barang  bertambah,  dan  keuntungan  pengusaha bertambah. Kesempatan kerja bertambah, karena terjadi tambahan investasi yang tercipta  berarti  membuka  banyak  lapangan  kerja  baru  sehingga  masalah pengangguran  dapat  berkurang.  Ketika  inflasinya  terkendali  dan  diikuti  dengan pendapatan  nominal  yang  bertambah,  maka  pendapatan  rill  masyarakat meningkat.
   Inflasi  pun  memberikan  dampak  yang  negatif  terhadap  perekonomian seperti  kenaikan  harga  kebutuhan  hidup,  nilai  dan  kepercayaan  terhadap  uang akan  berkurang.  Menimbulkan  tindakan  spekulasi  terhadap  investasi  portofolio terutama  portofolio  asing  yang  paling  diminati  sehingga  berdampak  terhadap melemahnya nilai tukar mata uang domestik. Banyak proyek pembangunan macet atau terlantar karena tidak sanggup membayar input dalam proyek yang harganya mengalami  peningkatan.  Dengan  terjadinya  inflasi  menjadikan  minat  menabung masyarakat  berkurang  sebagai  akibat  dari  turunnya  nilai  mata  uang  jika  hal  ini terjadi secara terus-menerus maka akan mematikan industri perbankan nasional.

2.1.2 PENGANGGURAN
2.1.2.1 Definisi Pengangguran
                  Penduduk usia kerja adalah penduduk berusia di atas 15 tahun. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.  Tenaga  kerja  atau  man  power  terdiri  dari  angkatan  kerja  dan  bukan angkatan  kerja.  Angkatan  kerja  atau  labor  force  terdiri  dari  (1)  golongan  yang bekerja,  dan  (2)  golongan  yang  menganggur  dan  mencari  pekerjaan  (Belante, 1990).
                  Menurut  Lipsey,  et  al.  (1997),  pengangguran  dapat  dibedakan  menjadi tiga  macam  yaitu  pengangguran  siklis,  pengangguran  friksional,  dan pengangguran  struktural.  Pengangguran  siklis  adalah  penganggur  yang  terjadi karena  permintaan  yang  tidak  memadai  untuk  membeli  semua  potensi  output ekonomi,  sehingga  mengakibatkan  senjang  resesi  di  mana  output  aktual  lebih kecil  dari  keluaran  potensial.  Kelompok  penganggur  ini  juga  dikatakan  sebagai orang yang menganggur dengan terpaksa, dengan kata lain mereka ingin bekerja dengan  tingkat  upah  yang  berlaku  tetapi  pekerjaan  yang  mereka  inginkan  tidak tersedia.  Pengangguran struktural  mengacu pada  pengangguran  yang disebabkan akibat  ketidaksesuaian  antar  struktur  angkatan  kerja  berdasarkan  jenis keterampilan,  pekerjaan,  industri  atau  lokasi  geografis  dan  strutur  permintaan tenaga kerja.
                  Mankiw (2000) menyatakan bahwa pengangguran struktural merupakan pengangguran  yang  disebabkan  oleh  kekakuan  upah  dan  penjatahan  pekerjaan. Para  pekerja  yang  tidak  dipekerjakan  bukan  karena  mereka  aktif  untuk  mencari pekerjaan  yang  cocok  untuk  mereka,  namun  pada  tingkat  upah  yang  berlaku, penawaran  tenaga  kerja  melebihi  permintaannya.  Sedangkan  pengangguran friksional  diakibatkan  oleh  perputaran  normal  tenaga  kerja.  Sumber  penting pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan (Lipsey, et al., 1997).
                  Mankiw  (2000)  menyatakan  bahwa  pengangguran  akan  selalu  muncul dalam suatu perekonomian karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah adanya proses  pencarian  kerja,  yaitu  dibutuhkannya  waktu  untuk  mencocokkan  para pekerja  dan  pekerjaan.  Alasan  kedua  adalah  adanya  kekakuan  upah.  Kekakuan upah ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya kebijakan upah minimum, daya tawar kolektif dari serikat pekerja, dan upah efisiensi.

2.1.3 KURVA PHILLIPS
                  Pada  tahun  1958,  ekonom  A.W.  Phillips  menerbitkan  sebuah  artikel berjudul  “The  Relationship  between  Unemployment  and  the  Rate  of  Change  of Money  Wages  in  United  Kingdom,  1861-1957”.  Pada  artikel  tersebut  Phillips memperlihatkan korelasi negatif antara tingkat pengangguran dan inflasi (tingkat perubahan  upah).  Phillips  memperlihatkan  bahwa  tahun-tahun  dengan  tingkat pengangguran yang rendah cenderung disertai oleh inflasi yang tinggi, dan tahun-tahun dengan tingkat pengangguran tinggi cenderung disertai dengan inflasi yang rendah (Samuelson, 1985)
                  A.W.  Phillips  (1958)  dalam  Mankiw  (2000)  menggambarkan  bagaimana sebaran  hubungan  antara  inflasi  dengan  tingkat  pengangguran  didasarkan  pada asumsi  bahwa  inflasi  merupakan  cerminan  dari  adanya  kenaikan  permintaan agregat.  Dengan  naiknya  permintaan  agregat,  maka  sesuai  dengan  teori permintaan yaitu jika permintaan naik maka harga akan naik.
                  Dengan  tingginya  harga  (inflasi)  maka  untuk  memenuhi  permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja  (tenaga  kerja  merupakan  satu-satunya  input  yang  dapat  meningkatkan output).  Akibat  dari  peningkatan  permintaan  tenaga  kerja  maka  dengan  naiknya harga-harga (inflasi) maka pengangguran berkurang.


Sumber : Mankiw, 2000
Gambar 2.3 Kurva Phillips

Tiga komponen pembentuk Kurva Phillips adalah :
a.       Ekspektasi Inflasi (π2)
b.      Pengangguran siklis (U-Un)
c.       Guncangan penawaran (v)

Persamaan kurva Phillips adalah :
π = πe – β (U-Un) + v …………………………………………………………….
Di mana π adalah  inflasi, πe adalah   ekspektasi  inflasi,  U  adalah  tingkat pengangguran  dan  Un adalah   tingkat  pengangguran  alamiah  (NAIRU  –  Non Accelerating  Inflation  Rate  of  Unemployment). β menunjukkan  besarnya  respon tingkat  inflasi  terhadap  perubahan  tingkat  pengangguran  siklis. β dapat menunjukkan  besarnya  rasio  pengorbanan  (sacrifice  ratio)  yang  terjadi.  Tanda negatif sebelum parameter  β menunjukkan hubungan negatif antara inflasi dengan tingkat pengangguran.



2.2 PENELITIAN TERDAHULU
                     Bhanthumnavin (2002) menganalisis kurva Phillips  untuk negara Thailand dengan  metode  OLS  menggunakan  dua  definisi  inflasi  (kuartalan  dan  tahunan). Estimasinya  menyatakan  bahwa  teori  Kurva  Phillips  di  Thailand  baru  berlaku setelah  Krisis  Asia  tahun  1997.  Dalam  penelitiannya  menunjukkan  bahwa sebelum terjadinya krisis ekonomi 1997 tidak terdapat hubungan antara inflasi dan pengangguran  seperti  yang  diungkapkan  dalam  Kurva  Phillips.  Hubungan  ini negative antara inflasi dan pengangguran ini baru tejadi setelah terjadinya krisis ekonomi  1997  yang  telah  memberikan  guncangan  struktural  yang  kuat  terhadap kapasitas perekonomian dan sektor finansial.
                     Amir  (2003)  menganalisis  pengaruh  inflasi  dan  pertumbuhan  ekonomi terhadap pengangguran di Indonesia pada periode 1980-2005 dengan mengunakan analisis  grafis  dan  metode  ANOVA.  Variabel  dependennya  adalah  tingkat pengangguran  dan  variabel  independennya  adalah  inflasi.  Hasilnya  adalah terdapat hubungan  negatif  namun tidak signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi  terhadap  pengangguran  baik  secara  statistik  maupun  grafis.  Hal  ini diduga  karena  inflasi  di  Indonesia  lebih  cenderung  disebabkan  oleh  adanya kenaikan biaya produksi, seperti misalnya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), bukan karena kenaikan permintaan.
                     Model  yang  digunakan  Simamare  (2006)  kemudian  digunakan  untuk mengestimasi hubungan inflasi dan  pengangguran di Indonesia dengan mengganti variabel  pertumbuhan  ekonomi  dengan  inflasi,  mengubah  jumlah  pengangguran sebagai  persentase,  serta  mengubah  jumlah  angkatan  kerja  sebagai  bentuk logaritma naturalnya. Selain itu, penulis juga menggunakan analisis uji kausalitas Granger untuk melihat hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran.







BAB III
PEMBAHASAN
Data yang peneliti gunakan untuk mendeteksi keberadaan kurva phillips adalah data pengangguran, inflasi dan IHK tahun 1980 hingga tahun 2012. Pertama, kami menggunakan program Key Indicators of Labour Market 7th Edition dari ILO untuk mendapatkan data pengangguran terbuka per tahun.   Kedua, kami menggunakan data SDSS Bank Indonesia untuk mendapatkan data inflasi pertahun. Ketiga, kami mengambil data IHK per Desember dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Ketiga variabel tersebut kami olah menggunakan Microsoft Excel dan Stata 12 Student Edition.

3.1  Gambaran Pengangguran di Indonesia
         Negara  berkembang  seperti  Indonesia  selalu  dihadapkan  oleh  masalah besarnya  jumlah  penduduk,  terutama  penduduk  berusia  muda.  Hal  ini  menjadi salah  satu  faktor  utama  besarnya  jumlah  angkatan  kerja  di  Indonesia.  Jumlah angkatan kerja (labor force) di Indonesia setiap tahun bertambah seiring dengan bertambahnya  jumlah  penduduk.  Dumairy  (1996)  mengungkapkan  bahwa pertumbuhan  angkatan  kerja  yang  cepat  akan  membawa  beban  bagi perekonomian,  yakni  penciptaan  lapangan  kerja.  Jika  lapangan  pekerjaan  baru tidak dapat menampung angkatan kerja baru, maka sebagian angkatan baru yang tidak tertampung tersebut menjadi pengangguran baru.
         Jumlah pengangguran di  Indonesia tahun 2008 mencapai 9.3 juta jiwa dari 112 juta jiwa angkatan kerja atau sekitar 8.3 persen dari total angkatan kerja (ILO, 2009).  Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 118,0 juta orang, dengan tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 6,14 persen, mengalami penurunan dibanding TPT 2011 sebesar 6,56 persen.
         Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3.32 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2007  tingkat pengangguran naik menjadi 8,02 persen . Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata  tingkat  pengangguran  lebih  dari  dua  kali  lipatnya.  Selain  itu,  tingkat pengangguran di Indonesia juga memiliki tren yang meningkat.

Pengangguran dan Rata-Rata Tingkat Pengangguran Periode Sebelum dan Sesudah Krisis
Tahun
IHK    (2002=100)
Inflasi
Pengangguran
Periode
Rata-rata Tingkat Pengangguran
1980
11.52
15.97
1.66
Sebelum Krisis 1998
3.12
1981
12.34
7.09
2.70
1982
13.54
9.69
3.01
1983
15.09
11.46
2.00
1984
16.41
8.76
2.00
1985
17.12
4.31
2.14
1986
18.63
8.83
2.60
1987
20.29
8.90
2.55
1988
21.40
5.47
2.81
1989
22.67
5.97
2.87
1990
24.03
5.97
2.51
1991
26.32
9.52
2.59
1992
27.62
4.94
2.71
1993
30.31
9.77
2.80
1994
33.11
9.24
4.40
1995
35.98
8.64
7.24
1996
38.30
6.47
4.89
1997
42.54
11.05
4.68
1998
75.56
77.63
5.46
Paska Krisis 1998
8.02
1999
77.08
2.01
6.36
2000
84.42
9.53
6.08
2001
95.02
12.55
8.10
2002
104.55
10.03
9.06
2003
109.84
5.06
9.50
2004
116.86
6.40
9.86
2005
136.86
17.11
10.26
2006
145.89
6.60
10.40
2007
155.50
6.59
9.11
2008
173.54
11.60
8.39
2009
178.36
2.78
7.87
2010
190.78
6.96
7.14
2011
198.01
3.79
6.56
2012
206.52
4.30
6.14

         Pengangguran  di  Indonesia  menjadi  masalah  yang  terus  menerus membesar.  Sebelum  krisis  ekonomi  tahun  1997,  tingkat  pengangguran  di Indonesia  pada  umumnya  di  bawah  5  persen  dan  pada  tahun  1997  sebesar  5.7 persen. Tingkat pengangguran sebesar 5.7 persen masih merupakan pengangguran alamiah.  Amir  (2006)  menyatakan  bahwa  tingkat  pengangguran  alamiah  adalah suatu tingkat pengangguran yang alamiah dan tak mungkin dihilangkan. Tingkat pengangguran  alamiah  ini  sekitar  5  hingga  6  persen  atau  kurang.  Artinya  jika tingkat  pengangguran  paling  tinggi  5  persen  itu  berarti  bahwa  perekonomiandalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment).
         Berdasarkan  data  ILO (KILM 7th Edition)sejak tahun 1980 hingga 2000 angkatan  kerja  Indonesia  sebagian  besar masih  didominasi  oleh  pekerja  di  sektor  pertanian,  peternakan,  kehutanan  dan perikanan  yaitu  sekitar  lebih  dari  40  persen  dari  jumlah  pekerja  keseluruhan. Sektor kedua  yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah perdagangan, restoran dan  hotel  yaitu  sekitar  37  persen di tahun 2000.            Secara keseluruhan sektor agriculture terus menurun dan menjadi sektor lapangan kerja terbesar kedua di tahun 2010 sebesar 38 persen. Sektor perdagangan, restoran dan hotel di tahun 2010 menjadi sektor yang mendominasi lapangan pekerjaan dengan persentase 42,3 persen. Sedangkan,  industri  manufaktur  yang diharapkan  dapat  menyerap  banyak  tenaga  kerja  justru  hanya  menyerap  tenaga kerja sekitar 11 sampai 19 persen.
Gambar 3.1.
Pekerja Berdasarkan Sektor dalam Persen (1980-2010)

         Sumber : ILO (diolah penulis)

         Selain itu,  Rahman (2008) menyatakan bahwa karakteristik pengangguran di Indonesia di antaranya adalah:
a)  Tingkat pengangguran berpendidikan rendah lebih tinggi
b)  Tingkat pengangguran laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan.
c)  Tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi
         Peningkatan  angkatan  kerja  baru  yang  lebih  besar  dibandingkan  dengan lapangan  kerja  yang  tersedia  terus  menunjukkan  jurang  (gap)  yang  terus membesar.  Kondisi  tersebut  semakin  membesar  setelah  krisis  ekonomi. Dengan
adanya  krisis  ekonomi  terutama  krisis  global  baru-baru  ini  tidak  saja  membuat jurang antara peningkatan angkatan kerja baru dengan  penyediaan lapangan kerja yang  rendah  terus  makin  dalam,  tetapi  juga  merangsang  tingginya  pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga tingkat pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun terus semakin tinggi.

3.2. Gambaran Inflasi di Indonesia
         Perkembangan  inflasi  di  Indonesia  menunjukkan  fluktusi  yang bervariasi dari  waktu  ke  waktu.  Inflasi  mulai  menjadi  perhatian  ketika  adanya  krisis  pada tahun  1960-an  dimana  Indonesia  mengalami  hiperinflasi  sebesar  650  persen sehingga  perekonomian  terguncang  dengan  hebat,  tetapi  tekanan  tersebut  dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan anti-inflasi, sehingga pada Repelita II, III, dan IV inflasi menurun menjadi sebesar 14.77 persen, 13.6 persen dan 6.9 persen. Kemudian  krisis  kembali  menghantam  negeri  ini  pada  tahun  1997-1998  yang berdampak  pada  semua  aspek  kehidupan,  salah  satunya  adalah  inflasi  yang mencapai 58.4 persen.
         Inflasi  kembali  mulai  menjadi  perhatian  sejak  dikeluarkannya  kebijakan UU  No.  23/1999  yang  sebenarnya  dapat  mengkategorikan  Indonesia  sebagai "Inflation Targeting Lite Countries".  Sejak awal ditetapkannya pada tahun 2005 sebesar 6 persen  dengan deviasi 1 persen,  inflation targeting  baru dapat berjalan secara efektif pada kuartal IV tahun 2006, yaitu sebesar 5,5 persen dengan deviasi sebesar 1 persen.




Gambar 3.2. Perkembangan Inflasi (1980-2012)
Sumber: ILO dan Bank Indonesia (diolah penulis)

         Pemerintah  berkoordinasi  dengan  BI  telah  menetapkan  dan mengumumkan  sasaran  inflasi  IHK  untuk  tahun  2006,  2007,  dan  2008 masing-masing sebesar 8 persen, 6 persen, dan 5  persen  dengan standar deviasi masing-masing  adalah  1  persen.  Penetapan  lintasan  sasaran  inflasi  ini  sejalan  dengan keinginan  untuk  mencapai  sasaran  inflasi  jangka  menengah  panjang  sebesar  3 persen agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya.
         Pemerintah dan Bank Indonesia telah sepakat menetapkan sasaran inflasi 2008-2010 sebesar 5 persen untuk 2008; 4.5 persen (2009); dan 4  persen (2010)
dengan  deviasi  1   persen.  Target  inflasi  2008  yakni  5   persen  dengan  deviasi  1 persen tersebut sesuai dengan target APBN 2008 yakni 6 persen. Rata-rata tingkat
inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985 hingga tahun 1996 relatif rendah
yaitu masih berkisar satu digit sebesar 7.9 persen per tahun. Namun, ketika terjadi
krisis,  tahun  1998  tingkat  inflasi  mencapai  58.3  persen  dan  setelah  tahun  1998 tingkat inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen.
         Pada tahun 2008 terdapat beberapa resiko yang dapat memberikan tekanan pada inflasi sehingga berpotensi mengganggu pencapaian sasaran inflasi tersebut. Risiko  tersebut  di  antaranya  adalah  (i)  proses  konsolidasi  pasar  finansial  global terkait  dampak  krisis  subprime  mortgage  masih  belum  reda,  (ii)  resiko  terkait kenaikan  harga  minyak  dunia  di  awal  tahun  2008,  (iii)  potensi  peningkatan permintaan konsumsi minyak domestik di atas asumsi terutama yang dipicu oleh tingginya  disparitas  harga  BBM  bersubsidi  dengan  BBM  nonsubsidi  maupun harga BBM di negara tetangga, (iv) kemampuan produksi minyak domestik yang tidak  sesuai  target  dan  (v)  persepsi  pelaku  ekonomi  terhadap  prospek kesinambungan  fiskal  dan  prospek  perekonomian  secara  keseluruhan  terkait dampak kenaikan harga minyak dunia.

3.3. Hubungan Inflasi dan Pengangguran
Untuk mencapai tujuan penelitian, maka urutan langkah analisisnya sebagai berikut:
1.              Uji unit root masing-masing data variable untuk mengetahui stasioneritas. Jika series data  pada level mempunyai unit root (non stasioner), maka lakukan pengujian data pada level first difference.
2.               Periksa  kriteria untuk  kointegrasi (prosedur Engel Granger), jika memenuhi  kriteria maka lakukan pengujian kointegrasi. Jika tidak memenuhi syarat pengujian kointegrasi, maka dapat disimpulkan tidak terjadi kointegrasi antar variable tersebut.
3.              Periksa kriteria untuk uji Dynamic Engel Granger (ECMs), jika tidak memenuhi syarat untuk uji engel granger maka tidak ada hubungan causalitas jangka pendek dan keseimbangan dalam jangka panjang. Jika terdapat hubungan kointegrasi antar variabel dalam model maka dapat dilakukan uji engel granger. Dengan model Dynamic Engel Granger dapat diketahui hubungan jangka pendek dan jangka panjang variabel inflasi dan pengangguran.

3.3.1.    Uji stasioneritas
Sebelum menggunakan data time series, peneliti perlu menguji stasioneritas untuk masing-masing variabel.  Menurut Gujarati (Dasar-dasar Ekonometrika:2003) , data time series yang tidak stasioner tidak dapat diterapkan dengan Ordinary Least Square, karena menghasilkan regresi lancung(palsu). Uji stasionaritas pertama kali dilakukan terhadap data awal (data tingkat level). Jika data awal bersifat stasioner dituliskan dengan I(0), tetapi jika tidak stasioner, dilakukan uji stasionaritas dengan menggunakan data difference tingkat pertama. Pada umumnya, data yangtidak stasioner pada data level, akan stasioner pada data difference tingkat pertama, yang ditulis dengan notasi I(1).
Metode yang digunakan untuk menguji stasioneritas tiap variabel adalah uji unit root, atau sering dikenal dengan uji augmented Dickey-Fuller(DF). Dalam program stata peneliti menggunakan perintah DF-GLS, sehingga dapat diketahui lag optimal dan tingkat stasioneritas.
Berdasarkan uji unit root tingkat level, hanya variabel inflasi(tabel 1.1) yang stasioner sedangkan variabel pengangguran dan IHK tidak stasioner. Hasil ini menunjukkan variabel inflasi dan pengangguran tidak stasioner di order yang sama, sehingga tidak dapat digunakan untuk analisis OLS maupun error correction model. Apabila dipaksakan, regresi OLS variabel inflasi dan pengangguran akan menghasilkan regresi yang lancung (palsu).
Variabel pengangguran dan IHK tidak stasioner di tingkat level, sehingga dilanjutkan uji unit root tingkat first difference. Hasil di Tabel 2.1 dan 2.2 menunjukkan bahwa variabel pengangguran dan IHK stasioner di tingkat first difference dan signifikan dengan lag sebesar satu.
Dari hasil uji unit root, peneliti menggunakan pendekatan IHK sebagai attribut inflasi untuk dapat menganalisa hubungan inflasi dan tingkat pengangguran. Konsep ini dapat digunakan karena order pertama dari IHK adalah inflasi.

3.3.2.        Uji Stasioneritas Error Term dan Kointegrasi
Jika series data dari variabel-variabel yang diteliti memiliki unit roots pada data level, maka perlu dilakukan uji kointegrasi, untuk mengetahui apakah variabel-variabel tersebut saling terintegrasi dalam suatu hubungan. Dengan kata lain, uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka panjang antara dua variabel atau lebih. Jika di antara
variabel-variabel terkait terdapat kointegrasi, berarti terdapat hubungan jangka panjang di antara variabel-variabel tersebut. Jika variabel X dan variabel Y terintegrasi, maka hasil regresi antara variabel X dan Y akan menghasilkan residual yang stasioner. Adapun dua series yang terintegrasi akan memiliki hubungan jangka panjang yang stabil. Menurut Gujarati (2003), pengujian ini hanya valid jika dilakukan pada data asli yang nonstasioner.
Enders (2004) memberikan catatan penting tentang definisi kointegrasi sebagai berikut:
1.          Kointegrasi merupakan kombinasi linear dari variabel-variabel yang seriesnya non- stasioner.
2.          Semua variabel yang diuji harus terintegrasi (stasioner) pada order yang sama (first difference).


Dengan hasil ADF untuk ECTI dan ECTU:      



Untuk menunjukkan bahwa variabel pengangguran terkointegrasi dengan variabel tingkat inflasi, pertama yang perlu dilakukan adalah uji stasionaritas terhadap variable error term. Hasilnya menunjukkan bahwa error term untuk model 1 stasioner di tingkat alpha sepuluh persen, sehingga dapat dilakukan uji kointegrasi. Error term untuk model 2 tidak stasioner di tingkat alpha sepuluh persen, sehingga tidak dapat dilakukan uji kointegrasi. Hal ini juga menunjukkan bahwa variabel inflasi tidak mempengaruhi pengangguran baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dari hasil uji augmented dickey fuller di atas, selanjutnya dapat dilakukan uji kointegrasi untuk model 1.  Model untuk uji kointegrasi adalah sebagai berikut:
                             
dengan hipotesis null tidak ada kointegrasi dalam model pengangguran mempengaruhi inflasi. Berdasarkan hasil regresi (Hasil spesifik: tabel 5.1) variabel inflasi tahun t-1 terkointegrasi dengan variabel pengangguran bahkan di tingkat signifikansi satu persen. Hasil ini sekaligus menunjukkan dapat dilakukan uji kausalitas Dynamic Engel Granger untuk mengetahui hubungan jangka pendek dan jangka panjang.




Granger Causality in Short Run
Hipotesa untuk uji kausalitas dalam jangka pendek adalah sebagai berikut:
Ho :  Un (pengangguran) does not granger cause lnihk (inflasi)  (Ho : γ2 = 0)
H1 :  Un (pengangguran) granger cause lnihk (inflasi)  (Ho : γ2 ≠ 0)
diperoleh nilai F statistic sebesar = 0.03471, dengan probability = 0.85365. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho diterima, yang berarti pengangguran bukanlah variabel yang menyebabkan terjadinya inflasi dalam jangka pendek. Hasil tersebut menunjukkan shock di pengangguran tidak langsung mempengaruhi inflasi pada saat itu juga, namun memerlukan waktu(lag) untuk direspon oleh pasar barang dan jasa.

Granger Causality in Long Run

Hipotesa untuk uji kausalitas dalam jangka panjang adalah sebagai berikut:
Ho :  Un (pengangguran) does not granger cause lnihk (inflasi) in long run (Ho : γ3 = 0)
H1 :  Un (pengangguran) granger cause lnihk (inflasi) in long ran (Ho : γ3 ≠ 0)
diperoleh nilai F statistic sebesar = 4,21, dengan probability = 0,0500. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho diterima, ada hubungan jangka panjang (keseimbangan jangka panjang) antara variabel pengangguran dan inflasi.


3.3.4.      Intepretasi Hasil Regresi

Dari hasil persamaan regresi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya tingkat inflasi pada tahun t adalah angka pengangguran pada tahun t-1 dan signifikan secara stastistik pada tingkat alpha 1 persen, dengan nilai R square = 0,9836, yang berarti pengangguran pada tahun t-1 mempunyai kontribusi terhadap besar kecilnya tingkat inflasi pada tahun t sebesar 98,36 persen, sedangkan sisanya (1,64 persen) dipengaruhi oleh faktor lainnya. Tanda koefisien regresi dari variabel pengangguran yang positif juga sekaligus menunjukkan bahwa teori kurva Phillips yang menyebutkan adanya hubungan negatif (trade off) antara inflasi dengan tingkat pengangguran, ternyata tidak terbukti dengan menggunakan data Indonesia tahun 1980-2012.
Dari hasil uji ECM aritara variabel inflasi dengan variabel tingkat  pengangguran(tabel 6.1), diperoleh model persamaan sebagai berikut:

Error correction mechanism dalam jangka panjang antara variabel inflasi dengan variabel tingkat pengangguran adalah 29 persen. Yang berarti setiap ada shock atau disequilibrium pada masa lalu (tahun t-1), dalam jangka pendek akan memperkecil pertambahan tingkat inflasi pada tahun t sebesar 35 persen, dan seterusnya sedemikian rupa sehingga akhimya pengangguran dan inflasi dalam jangka panjang akan mencapai keseimbangan.



BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan:
1.      Teori Kurva Phillips yaitu trade off antara pengangguran dan inflasi tidak terjadi di Indonesia dari tahun 1980-2012.
2.      Pengangguran bukanlah variabel yang menyebabkan terjadinya inflasi dalam jangka pendek. Hasil tersebut menunjukkan shock di pengangguran tidak langsung mempengaruhi inflasi pada saat itu juga, namun memerlukan waktu(lag) untuk direspon oleh pasar barang dan jasa.
3.      Ada hubungan jangka panjang yaitu equilibrium antara variabel pengangguran dan inflasi.
4.      Error correction mechanism dalam jangka panjang antara variabel inflasi dengan variabel tingkat pengangguran adalah 29 persen. Yang berarti setiap ada shock atau disequilibrium pada masa lalu (tahun t-1), dalam jangka pendek akan memperkecil pertambahan tingkat inflasi pada tahun t sebesar 35 persen, dan seterusnya sedemikian rupa sehingga akhimya pengangguran dan inflasi dalam jangka panjang akan mencapai keseimbangan.


Adapun saran yang bisa disampaikan adalah:
1.      Pemerintah  sebaiknya  mengefektifkan  kembali  kebijakan  yang  bertujuan untuk  mengurangi  laju  pertumbuhan  penduduk  sehingga  dapat menurunkan laju pertumbuhan angkatan kerja  yang ternyata berpengaruh signifikan  secara  statistik  terhadap  tingkat  pengangguran.  Misalkan, Keluarga Berencana (KB).
2.       Pemerintah  sebaiknya  menetapkan  kebijakan  makro  dan  mikro  yang terpadu.  Misalnya,  menstimulus  pembangunan  sektor-sektor  potensial yang dapat menyerap angkatan kerja dengan cepat seperti sektor pertanian, kehutanan,  peternakan,  dan  perikanan.  Selain  itu,  sektor  ekonomi  kreatif juga dapat dijadikan alternatif potensial dalam penyerapan tenaga kerja.
3.       Pembangunan  infrastruktur  guna  meningkatkan  penyerapan  tenaga  kerja terutama dengan pola padat karya serta pemanfaatan produk dalam negeri.
4.      Sebaiknya  tidak  hanya  angka  pengangguran  yang  digunakan  sebagai indikator  untuk  melihat  dinamika  pasar  tenaga  kerja  di  negara  sedang berkembang (termasuk Indonesia) di  mana peranan sektor informal sangat besar, khususnya jika dikaitkan dengan krisis ekonomi.
5.       Untuk  penelitian  selanjutnya,  sebaiknya  memperhitungkan  penentuan tingkat  pengangguran  alamiah  dan  ekspektasi  rasional  dalam  mencari hubungan antara inflasi dan pengangguran di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Irdam. 2007. Hubungan Antara Inflasi Dengan Tingkat Pengangguran; Pengujian Kurva  Philips Dengan Data Indonesia, 1976 – 2006. Jurnal Ekubank, Vol.1 Edisi Maret 2007.
Gujarati, Damodar N, Dawn C. Porter.  2012. Basic Econometrics, 5th ed. McGraw-Hili International Editions. Singapore.
Gali, Jordi and Lopez-Salido, J.D. 2000. A New Phillips Curve for Spain, BIS Paper No. 3.
Mulyati, Sri. 2009. Analisis Hubungan Inflasi Dan Pengangguran Di Indonesia Periode 1985 –  2008: Pendekatan Kurva Philips [skripsi]. Bogor: IPB.
Solikin. 2003.  Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia : Keberadaan, Pola Pembentukan Ekspektasi, dan Linieritas. Program Kerja Strategis Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) – Bank Indonesia.
Sinuhaji, Jonathan. 2006. Analisis Hubungan Tingkat Inflasi Dengan Pengangguran Di             Indonesia[tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

2 komentar: